Friday, July 6, 2012

KITAB WAHYU: GAMBARAN GEREJA KRISTUS SEPANJANG ZAMAN

KITAB WAHYU: GAMBARAN GEREJA KRISTUS SEPANJANG ZAMAN

Belajar dari Kitab Wahyu Bagian (1)



Pendahuluan

Sangat mudah untuk menjawab pertanyaan seperti ini: Kitab apa yang paling terakhir dalam PB? atau, kitab apa yang disebut kitab nubuat dalam PB? Tidak lain jawabannya adalah “Kitab Wahyu”. Namun ada satu pertanyaan yang membutuhkan keseriusan dan pemikiran lebih dari pertanyaan di atas adalah: “Kitab apa yang paling tidak disukai?” Dalam Alkitab ada dua kitab yang (menurut saya) sangat membosankan adalah Kitab Tawarikh dalam Perjanjian Lama dan Kitab Wahyu dalam Perjanjian Baru.
Suatu kali dalam pelajaran “Pengantar PL-PB” ketika saya mengajar di SMTK SETIA Seriti, pertanyaan tersebut di atas saya lemparkan kepada siswa/i tentang kitab apa yang paling tidak disukai?[1] Di tiga kelas, pertanyaan ini selalu saya ajukan sebagai bahan siskusi singkat di awal pelajaran. Di tiga kelas tersebut (40-an siswa/i), hanya satu orang siswa yang menyatakan senang terhadap Kitab Wahyu. Alasan yang dilontarkan siswa tersebut adalah oleh karena kisahnya seperti “film horror”.[2] Sesungguhnya jawaban ini menarik. Alasan yang lain menyatakan tidak suka karena banyak binatang-binatang yang menyeramkan. Hal yang sama pasti kita temukan, ketika pertanyaan tersebut kita ajukan kepada jemaat. Kitab Wahyu sulit untuk dipahami. Pendeta-pendeta atau pengkhotbah-pengkhotbah juga jarang mendengungkan kitab ini di atas mimbar gereja. Pada faktanya orang Kristen “menjauhi” (menghindari) Kitab Wahyu dengan alasan masing-masing. “Seseram itukah Kitab Wahyu?”


Kitab Wahyu dihindari sesungguhnya, karena tidak memahami sukacita yang diberitakannya. Pemahaman akan aspek yang sudah, sedang, dan akan datang - memberikan gambaran perjalanan gereja Tuhan sepanjang zaman - akan menghindari kita dari persepsi yang salah terhadap kitab ini. Dalam tulisan ini saya akan mengulas hal itu secara singkat dan lebih jauh ke depan tentang sukacita yang diberitakan kitab ini bagi gereja sekarang.

Landasan Pemahaman: Bahasa Kiasan dan Simbolisme dalam Kitab Wahyu

            Kitab Wahyu adalah kitab yang penuh dengan simbol. Bahkan kita dapat menyebutnya sebagai “Kitab Simbolisme” oleh karena hampir seluruh bagiannya dipenuhi dengan berbagai simbol-simbol dan gambaran-gambaran. Hal inilah yang membuat kitab Wahyu menjadi kurang menarik dan membingungkan. Simbol-simbol yang digunakan penulis berupa benda-benda yang ada di alam, nama dan pribadi, angka, warna, dan makhluk. Sedikit memudahkan bagi kita ketika Yohanes menafsirkan sendiri simbol yang ia gunakan. Misalnya, ia menyebut si ular tua dan langsung menunjukkan kepada kita maksud simbol tersebut yang menunjuk kepada Iblis dan satan (12:9). Demikian pula dengan “air”, ia menjelaskannya sebagai “bangsa-bangsa dan rakyat banyak dan kaum dan bahasa” (17:15). Akan tetapi hal ini tidak dilakukan oleh penulis di setiap simbol yang ia gunakan bahkan sebagian besar simbol dalam Kitab Wahyu tidak memiliki penjelasan. Beberapa lambang lain yang mudah untuk ditafsirkan seperti, “seorang serupa anak manusia” (1:13-18) ialah Kristus sendiri. Ia telah mati dan hidup utuk selama-lamanya (ayt. 18). Tujuh kaki dian dari emas adalah ketujuh jemaat (1:20). Naga yang besar (12:9) ialah Iblis. Tujuh kepala (17:9) adalah tujuh gunung di mana perempuan itu duduk.
            Lambang yang digunakan Yohanes berasal dari berbagai sumber. Sumber utamanya adalah Perjanjian Lama. Kadang kala ia mengambil lambang dari apokaliptik atau mitologi kuno. Lambang yang digunakan itu tidak mesti memiliki arti yang sama dengan sumber lambang itu. Lambang-lambang itu dapat mengalami perubahan arti dari sumbernya karena ilham yang baru datang menghasilkan makna yang baru. Hal yang harus diperhatikan juga adalah detail-detail dari simbol-simbol tersebut. Kita tidak mesti memberikan interpretasi yang lebih dalam, kecuali detail-detail tersebut menuntut keharusan untuk mengeluarkan makna dari simbol tersebut. Yang lebih penting adalah ide sentral dari simbol tersebut tanpa melepaskan detail-detail dari kesatuannya. Detail-detail harus diinterpretasikan dalam keserasiannya dengan ide sentral dari suatu simbol. Kita dapat mengambil contoh dari pasal 21-22 tentang Yerusalem yang Baru. Ide sentral dari bagian ini adalah persekutuan sempurna dengan Allah. Detail-detail yang muncul dalam bagian ini seperti, tembok, fondasi, sungai, pintu gerbang, dsb., melukiskan kemuliaan sebagai karakter persekutuan tersebut.[3] Simbol-simbol yang memenuhi Kitab Wahyu sangat menarik bagi imajinasi. Sehingga tidak mengherankan apabila muncul berbagai aliran penafsiran terhadap kitab ini. Namun perlu disadari bahwa simbol-simbol tersebut muncul sebagai gambaran-gambaran dari peristiwa-peristiwa yang benar-benar terjadi atau akan benar-benar terjadi, hanya tidak diartikan secara literal.[4]
            Pertanyaan yang harus dijawab kembali adalah apakah simbol tersebut menunjuk pada peristiwa khusus dalam sejarah, tanggal tertentu, tokoh tertentu, atau apa? Untuk itu dibedakan dua simbol yaitu simbol yang menunjuk pada awal era baru dan atau simbol tersebut menunjuk pada akhir perjalanan era baru.[5] Ada simbol yang menunjuk pada peristiwa khusus dan tidak mungkin terulang lagi dalam sejarah setelah peristiwa itu. Sebagai contoh: perempuan yang disebut dalam 12:1-5, yang melahirkan seorang laki-laki, menunjuk pada gereja yang mengemukakan Kristus. Atau tentang tuaian ganda (14:15), menunjuk pada penghakiman terakhir. Sejumlah besar simbol yang muncul dalam Kitab Wahyu terjadi di antara kedatangan Kristus yang pertama dan kedatangan yang kedua. Simbol-simbol untuk hal ini dapat kita sebutkan seperti kaki dian, materai, sangkakala, cawan, dll. Hampir tidak mungkin mencocokkan suatu simbol dengan suatu peristiwa sebagai peristiwa tunggal. Ribuan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi yang menunjukkan pembawaan-pembawaan tertentu yang mirip dengan simbol.
Persoalan ini tidak membuat kitab ini menjadi “kitab yang tertutup”. Lalu bagaimana kita memahami simbol-simbol tersebut? Untuk hal ini, kita perlu menyimak pendapat William Hendriksen, “Berdasarkan pada simbol-simbol itu sendiri, seperti yang dinyatakan dalam Wahyu, kita tiba pada kesimpulan yang sangat signifikan ini, yaitu, bahwa materai, sangkakala, cawan, dan lukisan-lukisan serupa, tidak menunjuk kepada peristiwa atau detail tertentu dalam sejarah, tetapi pada prinsip-prinsip yang sedang beroperasi di sepanjang sejarah dunia, khususnya di sepanjang era Perjanjian Baru ini. … Simbol-simbol ini menunjuk kepada seri kejadian, pada prinsip-prinsip perilaku manusiawi dan satanik dan pemerintahan moral ilahi. Simbol-simbol itu menunjuk kepada hal-hal yang terjadi terus berulang-ulang, sehingga Kitab Wahyu selalu tidak ketinggalan zaman.”[6]

Aspek yang Sudah, Sedang, dan Akan Datang dalam Kitab Wahyu

            Salah satu sifat Kitab Wahyu adalah sebagai kitab nubuatan (dua sifat lainnya adalah sebagai kitab apokaliptik dan sebagai surat kiriman). Yohanes menyebut kitabnya “kata-kata nubuat ini” (1:3; 22:18-19) dan menyatakan bahwa ia menderita karena kesaksian yang diberikan oleh Yesus adalah “roh nubuatan” (19:10). Dalam seluruh Kitab Wahyu roh nubuat ini berkumandang dari awal hingga akhir. Hal ini dapat dikaitkan dalam perkataan-perkataan penulis Kitab Wahyu yang menyatakan diri sebagai “nabi” yang mendapat penglihatan dari Allah. Seperti yang dikatakan oleh Ben Whiterington, “Otoritas penglihatan itu berasal dari Yesus dan Yohaneslah sang juru bicara – artinya, ia memancarkan otoritas seorang nabi yang diperoleh dari Tuhan semata”.[7] Dari pernyataan Ben Witherington tersebut, kita dapat menarik kesimpulkan bahwa penulis Kitab Wahyu sedang memperkenalkan diri sebagai “nabi” (pelihat). Statusnya sebagai pelihat lebih mengutamakan dan mengedepankan otoritas Yesus sebagai pemberi wahyu yang ia terima. Hal ini semakin jelas dari hubungan Kitab Wahyu dengan Perjanjian Lama. Groen mengatakan bahwa Yohanes dipanggil menjadi nabi sama seperti nabi-nabi dalam Perjanjian Lama sehingga lambang-lambang dalam Kitab Wahyu berakar dalam kitab-kitab para nabi.[8] Penglihatan yang diterima Yohanes sama seperti yang diterima oleh nabi-nabi dalam Perjanjian Lama. Maka, sebagai kitab nubuatan, Kitab Wahyu “memberi penyataan mengenai peristiwa-peristiwa yang sudah, atau yang sedang, atau yang akan terjadi.”[9]
            Pembicaraan Kitab Wahyu tentang apa yang sudah, sedang, dan akan, membawa kita pada perbedaan penafsiran menurut metode preteris, metode historis, dan metode futuris. Kita tidak akan membicarakan perbedaan-perbedaan pendapat di antara kelompok-kelompok penafsiran tersebut atau kelemahan-kelemahan masing-masing. Yang ditekankan di sini adalah kebenaran dari masing-masing metode terlepas dari kelemahannya. Metode penafsiran preteris mengatakan bahwa segala simbolisme dalam Kitab Wahyu hanya berhubungan dengan peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian pada paruh abad pertama sehingga tidak relevan dengan masa kini dan masa yang akan datang.[10] Kitab Wahyu telah menjadi milik masa lalu. Adalah benar bahwa Kitab Wahyu memuat bahan-bahan tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi misalnya Yesus Kristus yang telah naik ke sorga dilukiskan pada Wahyu 1. Maka aspek apa yang telah terjadi dibenarkan oleh metode penafsiran ini.
            Metode penafsiran historis mengatakan bahwa Kitab Wahyu harus ditafsirkan sebagai ikhtisar sejarah gereja dari hari Pentakosta sampai konsumasi.[11] Setiap lambang dan simbol dalam Kitab Wahyu merupakan gambaran peristiwa yang akan terjadi dalam sejarah gereja. Berdasarkan metode penafsiran historis ini kita dapat mengatakan bahwa Kita Wahyu bertalian erat dengan apa yang akan dihadapi gereja, hanya perlu kita menghindari mengidentikan suatu tokoh atau suatu peristiwa dengan apa yang tercatat dalam kitab ini. Maka metode ini sendiri telah membenarkan aspek dari apa yang sedang terjadi. Metode penafsiran futuris mengatakan bahwa Kitab Wahyu harus dipahami sebagai kitab yang berbicara tentang apa yang akan terjadi di masa yang akan datang, tepatnya pada hari kedatangan Kristus.[12] Metode ini pun tidak bisa dibenarkan sepenuhnya. Akan tetapi ia membenarkan aspek dari apa yang akan terjadi menurut sifat kitab ini sebagai kitab nubuatan. Kitab Wahyu banyak berbicara tentang peristiwa-peristiwa yang akan datang, baik peistiwa-peristiwa yang akan dihadapi gereja menurut waktu penulisan kitab ini atau menurut waktu kita sekarang maupun peristiwa-peristiwa yang akan terjadi jauh ke depan menunjuk pada hari penghakiman. Boersma memberikan kepada kita data tentang pembagian pasal-pasal dalam Kitab Wahyu berdasarkan aspek sudah, sedang, dan akan:[13]

Wahyu Mengenai
Pasal
Penguraian
Yang Sudah
12
1
Perempuan – Anak yang lahir – Naga
Yesus Kristus yang telah naik ke sorga
Yang Sekarang
2, 3
Keadaan ketujuh jemaat di Asia Kecil
Yang Akan
4-21
7 materai – 7 sangkakala – 7 guruh – 7 cawan

Nubuatan dalam Kitab Wahyu terarah kepada kedatangan Kristus kedua, sedangkan nubuatan dalam Perjanjian Lama terarah pada kedatangan Kristus pertama. Kitab Wahyu juga memiliki arti menyeluruh menyangkut, bukan hanya masa depan tetapi meliputi pewahyuan yang telah Allah berikan. “Nubuat Kitab Wahyu menyatakan kemenangan Kristus atas kejahatan, dan pemerintahan-Nya bersama umat-Nya. Pemerintahan-Nya bersifat sudah dan belum: sudah dalam prinsip dan, saat konsumasi, akan menjadi realitas sepenuhnya” (Wah. 11:15). Kitab Wahyu memberikan penghiburan dan pengharapan bagi orang Kristen yang hidup di antara kedatangan Kristus pertama dan kedua. Sehingga Kitab Wahyu tidak boleh dibatasi hanya pada zaman Yohanes hidup, tetapi beritanya diperuntukkan bagi setiap orang percaya yang membaca kitab ini, ia tidak dibatasi waktu kosmis.
Semua ini mengarahkan kita pada kesimpulan bahwa Kitab Wahyu berbicara tentang penyataan diri Allah di dalam Yesus Kristus dan gereja-Nya dalam dunia ini. Hal ini menyangkut apa yang telah Allah perbuat, apa yang sedang Ia kerjakan, dan apa yang akan Ia lakukan untuk menggenapinya.



[1] Hal ini bukan berarti bahwa ada kitab-kitab tertentu yang memiliki posisi berbeda dengan kitab-kitab yang lain. Suka tidak suka di sini berhubungan dengan sifat sastra suatu kitab sehingga berkesan membosankan.
[2] Satu film karya dari J.R.R. Tolkien yaitu “The Lord of the Rings” yang diadaptasi dari trilogi novelnya, mempunyai hubungan dengan alasan-alasan yang sejenis. Film tersebut memang terinspirasi dari Alkitab dan Kitab Wahyu adalah salah satu sumber inspirasinya. Film tersebut merupakan hasil karya seorang Katolik. Untuk interpretasi sebagai penilaian dari pihak Protestan, baca C. Marvin Pate & Sherly L. Pate, Disalibkan oleh Media (Yogjakarta: Andi, 2007), hlm. 219-241
[3] William Hendriksen, Lebih dari Pemenang: Sebuah Interpretasi Kitab Wahyu (Surabaya: Momentum, 2008), hlm. 40-41
[4] “Kitab Wahyu” dalam Leland Ryken, J. C. Wilhoit, dan Tremper Longman III (ed.), Kamus Gambaran Alkitab (Surabaya: Momentum, 2011), hlm. 1205
[5] Pemahaman ini bertolak dari penafsiran parelelisme progresif, salah satu sistem penafsiran yang diterapkan kepada Kitab Wahyu. Menurut pendekatan ini Kitab Wahyu terbagi dalam tujuh bagian dimana satu sama lain berparalel. Tiap-tiap paralel menggambarkan bagaimana gereja Kristus sejak kedatangan-Nya yang pertama (sebagai awal era yang baru) hingga kedatangan-Nya yang kedua (akhir dari era baru). Metode penafsiran ini dipegang oleh William Hendriksen, Lebih dari Pemenang: Sebuah Interpretasi Kitab Wahyu (Surabaya: Momentum, 2008), hlm. 11-36; Anthony A. Hoekema, Alkitab dan Akhir Zaman (Surabaya: Momentum, 2004), hlm. 301-305. Lihat juga penjelasan menarik Kistemaker yang membagi Kitab Wahyu dalam tujuh penglihatan. Simon J. Kistemaker, Tafsiran Kitab Wahyu (Surabaya: Momentum, 2009), hlm. 70-74
[6] Hendriksen, Lebih dari Pemenang, hlm. 40-41
[7] Ben Whiterington III, Apa yang telah Mereka Lakukan terhadap Yesus? Bantahan terhadap Teori-teori Aneh dan Sejarah “Ngawur” tentang Yesus (Jakarta: Gramedia, 2007), hlm. 194
[8] Jakob P. D. Groen, Aku Datang Segera: Tafsiran Kitab Wahyu (Surabaya: Momentum, 2007), hlm. 11. Lihat juga Kistemaker, Tafsiran Kitab Wahy, hlm. 17-19
[9] Tj. Boersma, Alkitab Bukan Teka-Teki (Surabaya:Momentum, 2003), hlm. 49-50
[10] Simon J. Kistemaker, Tafsiran Kitab Wahyu (Surabaya: Momentum, 2009), hlm. 41
[11] Ibid., hlm. 42
[12] Kistemaker, Tafsiran Kitab Wahyu,  hlm. 43-44
[13] Boersma, Alkitab Bukan Teka-Teki, hlm. 50