KITAB WAHYU: GAMBARAN GEREJA KRISTUS SEPANJANG ZAMAN
Belajar dari Kitab Wahyu Bagian (1)
Pendahuluan
Sangat mudah
untuk menjawab pertanyaan seperti ini: Kitab apa yang paling terakhir dalam PB?
atau, kitab apa yang disebut kitab nubuat
dalam PB? Tidak lain jawabannya adalah “Kitab Wahyu”. Namun ada satu pertanyaan yang membutuhkan keseriusan dan pemikiran lebih dari
pertanyaan di atas adalah: “Kitab apa yang paling tidak disukai?” Dalam Alkitab
ada dua kitab yang (menurut saya) sangat membosankan adalah Kitab Tawarikh
dalam Perjanjian Lama dan Kitab Wahyu dalam Perjanjian Baru.
Suatu
kali dalam pelajaran “Pengantar PL-PB”
ketika saya mengajar di SMTK SETIA Seriti, pertanyaan tersebut di atas saya
lemparkan kepada siswa/i tentang kitab apa yang paling tidak disukai?[1]
Di tiga kelas, pertanyaan ini selalu saya ajukan sebagai bahan siskusi singkat
di awal pelajaran. Di tiga kelas tersebut (40-an siswa/i), hanya satu orang
siswa yang menyatakan senang terhadap Kitab Wahyu. Alasan yang dilontarkan
siswa tersebut adalah oleh karena kisahnya seperti “film horror”.[2]
Sesungguhnya jawaban ini menarik. Alasan yang lain menyatakan tidak suka karena
banyak binatang-binatang yang menyeramkan. Hal
yang sama pasti kita temukan, ketika pertanyaan
tersebut kita ajukan kepada jemaat.
Kitab Wahyu sulit untuk dipahami. Pendeta-pendeta
atau pengkhotbah-pengkhotbah juga jarang mendengungkan kitab ini di atas mimbar gereja. Pada faktanya orang Kristen “menjauhi”
(menghindari) Kitab Wahyu dengan alasan masing-masing. “Seseram itukah Kitab
Wahyu?”
Kitab
Wahyu dihindari sesungguhnya, karena tidak memahami sukacita yang diberitakannya.
Pemahaman akan aspek yang sudah, sedang, dan akan datang - memberikan
gambaran perjalanan gereja Tuhan sepanjang zaman - akan
menghindari kita dari persepsi yang salah terhadap kitab ini. Dalam tulisan ini
saya akan mengulas hal itu secara singkat dan lebih jauh ke depan tentang sukacita
yang diberitakan kitab ini bagi gereja sekarang.
Landasan Pemahaman: Bahasa Kiasan
dan Simbolisme dalam Kitab Wahyu
Kitab Wahyu
adalah kitab yang penuh dengan simbol. Bahkan kita dapat
menyebutnya sebagai “Kitab Simbolisme” oleh karena hampir seluruh bagiannya
dipenuhi dengan berbagai simbol-simbol dan gambaran-gambaran. Hal
inilah yang membuat kitab Wahyu menjadi kurang menarik
dan membingungkan. Simbol-simbol yang digunakan penulis berupa benda-benda yang
ada di alam, nama dan pribadi, angka, warna, dan makhluk. Sedikit memudahkan
bagi kita ketika Yohanes menafsirkan sendiri simbol yang ia gunakan. Misalnya,
ia menyebut si ular tua dan langsung menunjukkan kepada kita maksud simbol
tersebut yang menunjuk kepada Iblis dan satan (12:9). Demikian pula dengan
“air”, ia menjelaskannya
sebagai “bangsa-bangsa dan rakyat banyak dan kaum dan bahasa” (17:15). Akan
tetapi hal ini tidak dilakukan oleh penulis di setiap simbol yang ia gunakan
bahkan sebagian besar simbol dalam Kitab Wahyu tidak memiliki penjelasan.
Beberapa lambang lain yang mudah untuk ditafsirkan seperti, “seorang serupa
anak manusia” (1:13-18) ialah Kristus sendiri. Ia telah mati dan hidup utuk
selama-lamanya (ayt. 18). Tujuh kaki dian dari emas adalah ketujuh jemaat
(1:20). Naga yang besar (12:9) ialah Iblis. Tujuh kepala (17:9) adalah tujuh
gunung di mana perempuan itu duduk.
Lambang yang
digunakan Yohanes berasal dari berbagai sumber. Sumber utamanya adalah
Perjanjian Lama. Kadang kala ia mengambil lambang dari apokaliptik atau
mitologi kuno. Lambang yang digunakan itu
tidak mesti memiliki arti yang sama dengan sumber lambang itu. Lambang-lambang
itu dapat mengalami perubahan arti dari sumbernya
karena ilham yang baru datang
menghasilkan makna yang baru. Hal
yang harus diperhatikan juga adalah detail-detail dari simbol-simbol
tersebut. Kita tidak mesti memberikan interpretasi yang lebih dalam, kecuali
detail-detail tersebut menuntut keharusan untuk mengeluarkan makna dari simbol
tersebut. Yang lebih penting adalah ide sentral dari simbol tersebut tanpa
melepaskan detail-detail dari kesatuannya. Detail-detail harus
diinterpretasikan dalam keserasiannya dengan ide sentral dari suatu simbol.
Kita dapat mengambil contoh dari pasal 21-22 tentang Yerusalem yang Baru. Ide
sentral dari bagian ini adalah persekutuan sempurna dengan Allah. Detail-detail
yang muncul dalam bagian ini seperti, tembok, fondasi, sungai, pintu gerbang,
dsb., melukiskan kemuliaan sebagai karakter persekutuan tersebut.[3] Simbol-simbol yang memenuhi Kitab Wahyu sangat menarik
bagi imajinasi. Sehingga tidak mengherankan apabila muncul berbagai aliran
penafsiran terhadap kitab ini. Namun perlu disadari bahwa simbol-simbol
tersebut muncul sebagai gambaran-gambaran dari peristiwa-peristiwa yang
benar-benar terjadi atau akan benar-benar terjadi, hanya tidak diartikan secara
literal.[4]
Pertanyaan yang
harus dijawab kembali adalah apakah simbol tersebut menunjuk pada peristiwa
khusus dalam sejarah, tanggal tertentu, tokoh tertentu, atau apa? Untuk itu dibedakan dua simbol yaitu
simbol yang menunjuk pada awal era baru dan atau
simbol tersebut menunjuk pada akhir perjalanan era baru.[5]
Ada simbol yang menunjuk pada peristiwa khusus dan tidak mungkin terulang lagi
dalam sejarah setelah peristiwa itu. Sebagai contoh: perempuan yang disebut
dalam 12:1-5, yang melahirkan seorang laki-laki, menunjuk pada gereja yang
mengemukakan Kristus. Atau tentang tuaian ganda (14:15), menunjuk pada
penghakiman terakhir. Sejumlah besar simbol yang muncul dalam Kitab Wahyu
terjadi di antara kedatangan Kristus yang
pertama dan kedatangan yang kedua. Simbol-simbol untuk hal ini dapat kita
sebutkan seperti kaki dian, materai, sangkakala, cawan, dll. Hampir tidak
mungkin mencocokkan suatu simbol dengan suatu peristiwa sebagai peristiwa tunggal. Ribuan peristiwa-peristiwa yang telah
terjadi yang menunjukkan pembawaan-pembawaan tertentu yang mirip dengan simbol.
Persoalan ini tidak membuat kitab ini menjadi
“kitab yang tertutup”. Lalu bagaimana kita memahami simbol-simbol tersebut? Untuk hal ini, kita perlu menyimak
pendapat William Hendriksen, “Berdasarkan pada simbol-simbol itu sendiri,
seperti yang dinyatakan dalam Wahyu, kita tiba pada kesimpulan yang sangat
signifikan ini, yaitu, bahwa materai, sangkakala, cawan, dan lukisan-lukisan
serupa, tidak menunjuk kepada peristiwa atau detail tertentu dalam sejarah,
tetapi pada prinsip-prinsip yang sedang beroperasi di sepanjang sejarah dunia,
khususnya di sepanjang era Perjanjian Baru ini. … Simbol-simbol ini menunjuk
kepada seri kejadian, pada prinsip-prinsip perilaku manusiawi dan satanik dan
pemerintahan moral ilahi. Simbol-simbol itu menunjuk kepada hal-hal yang
terjadi terus berulang-ulang, sehingga Kitab Wahyu selalu tidak ketinggalan
zaman.”[6]
Aspek
yang Sudah, Sedang, dan Akan Datang dalam Kitab Wahyu
Salah satu sifat Kitab
Wahyu adalah sebagai kitab nubuatan (dua sifat lainnya adalah sebagai kitab
apokaliptik dan sebagai surat kiriman). Yohanes menyebut
kitabnya “kata-kata nubuat ini” (1:3; 22:18-19) dan menyatakan bahwa ia
menderita karena kesaksian yang diberikan oleh Yesus adalah “roh nubuatan”
(19:10). Dalam seluruh Kitab Wahyu roh nubuat ini berkumandang dari awal hingga
akhir. Hal ini dapat dikaitkan dalam perkataan-perkataan penulis Kitab Wahyu
yang menyatakan diri sebagai “nabi” yang mendapat penglihatan dari Allah.
Seperti yang dikatakan oleh Ben Whiterington, “Otoritas penglihatan itu berasal
dari Yesus dan Yohaneslah sang juru bicara – artinya, ia memancarkan otoritas
seorang nabi yang diperoleh dari Tuhan semata”.[7]
Dari pernyataan Ben Witherington tersebut, kita dapat
menarik kesimpulkan bahwa penulis
Kitab Wahyu sedang memperkenalkan diri sebagai “nabi”
(pelihat). Statusnya sebagai pelihat lebih
mengutamakan dan mengedepankan otoritas Yesus sebagai pemberi wahyu yang ia
terima. Hal ini semakin jelas dari hubungan Kitab Wahyu dengan
Perjanjian Lama. Groen mengatakan bahwa Yohanes dipanggil menjadi nabi sama
seperti nabi-nabi dalam Perjanjian Lama sehingga lambang-lambang dalam Kitab
Wahyu berakar dalam kitab-kitab para nabi.[8]
Penglihatan yang diterima Yohanes sama seperti yang diterima oleh nabi-nabi
dalam Perjanjian Lama. Maka, sebagai kitab nubuatan, Kitab Wahyu “memberi
penyataan mengenai peristiwa-peristiwa yang sudah,
atau yang sedang, atau yang akan terjadi.”[9]
Pembicaraan Kitab Wahyu
tentang apa yang sudah, sedang, dan akan, membawa kita pada perbedaan
penafsiran menurut metode preteris, metode historis, dan metode futuris. Kita
tidak akan membicarakan perbedaan-perbedaan pendapat di antara
kelompok-kelompok penafsiran tersebut atau kelemahan-kelemahan masing-masing.
Yang ditekankan di sini adalah kebenaran dari masing-masing metode terlepas
dari kelemahannya. Metode penafsiran preteris
mengatakan bahwa segala simbolisme dalam Kitab Wahyu hanya berhubungan dengan
peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian pada paruh abad pertama sehingga
tidak relevan dengan masa kini dan masa yang akan datang.[10]
Kitab Wahyu telah menjadi milik masa lalu. Adalah benar bahwa Kitab Wahyu
memuat bahan-bahan tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi misalnya
Yesus Kristus yang telah naik ke sorga dilukiskan pada Wahyu 1. Maka aspek apa
yang telah terjadi dibenarkan oleh
metode penafsiran ini.
Metode penafsiran historis mengatakan bahwa Kitab Wahyu
harus ditafsirkan sebagai ikhtisar sejarah gereja dari hari Pentakosta sampai
konsumasi.[11]
Setiap lambang dan simbol dalam Kitab Wahyu merupakan gambaran peristiwa yang
akan terjadi dalam sejarah gereja. Berdasarkan metode
penafsiran historis ini kita dapat mengatakan bahwa Kita Wahyu bertalian erat
dengan apa yang akan dihadapi gereja, hanya perlu kita menghindari mengidentikan
suatu tokoh atau suatu peristiwa dengan apa yang tercatat dalam kitab ini. Maka
metode ini sendiri telah membenarkan aspek dari apa yang sedang terjadi. Metode penafsiran futuris mengatakan bahwa Kitab Wahyu harus dipahami sebagai kitab
yang berbicara tentang apa yang akan terjadi di masa yang akan datang, tepatnya
pada hari kedatangan Kristus.[12]
Metode ini pun tidak bisa dibenarkan sepenuhnya. Akan tetapi ia membenarkan
aspek dari apa yang akan terjadi
menurut sifat kitab ini sebagai kitab nubuatan. Kitab Wahyu banyak berbicara
tentang peristiwa-peristiwa yang akan datang, baik peistiwa-peristiwa yang akan
dihadapi gereja menurut waktu penulisan kitab ini atau menurut waktu kita
sekarang maupun peristiwa-peristiwa yang akan terjadi jauh ke depan menunjuk
pada hari penghakiman. Boersma memberikan kepada kita data tentang pembagian pasal-pasal
dalam Kitab Wahyu berdasarkan aspek sudah, sedang, dan akan:[13]
Wahyu Mengenai
|
Pasal
|
Penguraian
|
Yang Sudah
|
12
1
|
Perempuan – Anak yang lahir – Naga
Yesus Kristus yang telah naik ke sorga
|
Yang Sekarang
|
2, 3
|
Keadaan ketujuh jemaat di Asia Kecil
|
Yang Akan
|
4-21
|
7 materai – 7 sangkakala – 7 guruh – 7 cawan
|
Nubuatan
dalam Kitab Wahyu terarah kepada kedatangan Kristus kedua, sedangkan nubuatan
dalam Perjanjian Lama terarah pada kedatangan Kristus
pertama. Kitab Wahyu juga memiliki arti menyeluruh menyangkut, bukan hanya masa
depan tetapi meliputi pewahyuan yang telah Allah berikan. “Nubuat Kitab Wahyu
menyatakan kemenangan Kristus atas kejahatan, dan pemerintahan-Nya bersama
umat-Nya. Pemerintahan-Nya bersifat sudah dan belum: sudah dalam prinsip dan,
saat konsumasi, akan menjadi realitas sepenuhnya” (Wah. 11:15). Kitab Wahyu
memberikan penghiburan dan pengharapan bagi orang Kristen yang hidup di antara
kedatangan Kristus pertama dan kedua. Sehingga Kitab Wahyu tidak boleh dibatasi
hanya pada zaman Yohanes hidup, tetapi beritanya diperuntukkan bagi setiap
orang percaya yang membaca kitab ini, ia tidak dibatasi waktu kosmis.
Semua ini mengarahkan kita pada kesimpulan bahwa Kitab
Wahyu berbicara tentang penyataan diri Allah di dalam Yesus Kristus dan gereja-Nya
dalam dunia ini. Hal ini menyangkut apa yang telah Allah perbuat, apa yang sedang
Ia kerjakan, dan apa yang akan Ia
lakukan untuk menggenapinya.
[1] Hal ini bukan berarti bahwa ada kitab-kitab tertentu yang memiliki posisi
berbeda dengan kitab-kitab yang lain. Suka
tidak suka di sini berhubungan dengan sifat sastra suatu kitab sehingga
berkesan membosankan.
[2] Satu
film karya dari J.R.R. Tolkien yaitu “The
Lord of the Rings” yang diadaptasi dari trilogi novelnya, mempunyai
hubungan dengan alasan-alasan yang sejenis. Film tersebut memang terinspirasi
dari Alkitab dan Kitab Wahyu adalah salah satu
sumber inspirasinya. Film tersebut merupakan hasil karya seorang Katolik. Untuk
interpretasi sebagai penilaian dari pihak
Protestan, baca C. Marvin Pate & Sherly L. Pate, Disalibkan oleh Media (Yogjakarta: Andi, 2007), hlm. 219-241
[3] William Hendriksen, Lebih dari
Pemenang: Sebuah Interpretasi Kitab Wahyu (Surabaya: Momentum, 2008), hlm.
40-41
[4] “Kitab Wahyu” dalam Leland Ryken, J. C. Wilhoit, dan
Tremper Longman III (ed.), Kamus Gambaran
Alkitab (Surabaya: Momentum, 2011), hlm. 1205
[5] Pemahaman ini bertolak dari penafsiran parelelisme
progresif, salah satu sistem penafsiran yang diterapkan kepada Kitab Wahyu.
Menurut pendekatan ini Kitab Wahyu terbagi dalam tujuh bagian dimana satu sama
lain berparalel. Tiap-tiap paralel menggambarkan bagaimana gereja Kristus sejak
kedatangan-Nya yang pertama (sebagai awal era yang baru) hingga kedatangan-Nya
yang kedua (akhir dari era baru). Metode penafsiran ini dipegang oleh William
Hendriksen, Lebih dari Pemenang: Sebuah
Interpretasi Kitab Wahyu (Surabaya: Momentum, 2008), hlm. 11-36; Anthony A.
Hoekema, Alkitab dan Akhir Zaman
(Surabaya: Momentum, 2004), hlm. 301-305. Lihat juga penjelasan menarik Kistemaker
yang membagi Kitab Wahyu dalam tujuh penglihatan. Simon J. Kistemaker, Tafsiran Kitab Wahyu (Surabaya:
Momentum, 2009), hlm. 70-74
[7] Ben
Whiterington III, Apa yang telah Mereka
Lakukan terhadap Yesus? Bantahan terhadap Teori-teori Aneh dan Sejarah “Ngawur”
tentang Yesus (Jakarta: Gramedia, 2007), hlm. 194
[8]
Jakob P. D. Groen, Aku Datang Segera: Tafsiran Kitab Wahyu (Surabaya: Momentum, 2007),
hlm. 11. Lihat juga Kistemaker, Tafsiran Kitab Wahy, hlm. 17-19