KEBENARAN ALLAH DALAM ROMA 3:21-26
Istilah dikaiosύnh dalam Roma 3:21 merupakan bentuk genetif subjungtif sehingga sangat mungkin diterjemahkan “pembenaran oleh Allah”. Kemungkinan lain untuk menerjemahkan frasa ini adalah “kebenaran Allah” (bukan pembenaran Allah) yang dapat diartikan “kebenaran sebagai sifat Allah sendiri”, demikian dikatakan oleh Tom Jakobs (Paulus: Hidup, Karya, dan Teologinya, Yogyakarta: Kanisius-Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993, hlm. 203).
Dalam surat Roma kata “dikaiosύnh” selalu dikaitkan kepada Allah sebanyak delapan kali (1:17; 3:5,
21, 22, 25, 26; 10:3), dan satu kali dalam 2 Korintus 5:21. Secara khusus dalam 3:21-26
memiliki arti ganda. Pada ayat 21-22 “kebenaran Allah” dapat dilihat sebagai
kualitas forensik yang Allah kenakan atas manusia dan yang membebaskannya. Pada
ayat 25-26, “kebenaran Allah dilihat sebagai kebenaran yang membenarkan”
(Ridderbos, [Paulus: Pemikiran Utama
Teologinya, Surabaya:
Momentum, 2008], hlm. 169). Tom Jakobs mengabaikan pengertian “kebenaran Allah”
sebagai “kebenaran yang berasal dari Allah dan yang diberikan kepada manusia” (Paulus, hlm. 203).
Pertanyaan yang
timbul dari frasa ini adalah apakah “kebenaran Allah” harus dipahami sebagai
genetifus subjektif atau genetifus objektifus. Th. van Den End mengatakan bahwa
“kebenaran Allah” harus dipahami sebagai kebenaran tentang Allah (kebenaran
dari Allah: genetifus subjektif) yang akan dikenakan kepada manusia sehingga
manusia benar dihadapan Allah, genetifus objektifus (Tafsiran
Alkitab Kitab Roma, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008, hlm. 175).
Perikop ini
dimulai dengan kata “nuni de”, suatu penekanan dalam bahasa Yunani. “Tetapi sekarang” merupakan
pembalikkan terhadap apa yang dikatakan sebelumnya, sebagai peralihan dari
situasi yang lama kepada yang baru. Pada ayat 9-20, Paulus menjelaskan bahwa
baik Yahudi maupun non-Yahudi berada di bawah hukum Allah. Bangsa Yahudi yang
kepada mereka “dipercayakan firman Allah” pun tidak luput dari hukuman Allah.
Sekalipun mereka memiliki Taurat, hal itu tidak akan menghindarkan mereka dari
penghukuman Allah, “sebab tidak seorangpun dibenarkan dihadapan Allah karena
melakukan hukum Taurat, karena justru oleh hukum Taurat orang mengenal dosa” (ayat
20).
Saya setuju
dengan pendapat yang mengatakan bahwa “kebenaran Allah” pada ayat 21-22 harus
dipahami sebagai genetifus subjektif artinya kebenaran tentang Allah atau
kebenaran dari Allah di mana kebenaran itu “telah dinyatakan”. Apa yang telah
dinyatakan (pejanerwtai, bentuk perfek pasif dari janeow)? Kebenaran Allah seperti apakah yang telah dinyatakan tanpa Taurat (cwriV νομου)? Allah
telah menyatakan kebenaran-Nya yaitu keselamatan yang diperoleh dalam Yesus
Kristus dengan iman bukan atau tanpa perbuatan hukum Taurat. Hal itu juga telah
disuarakan oleh para nabi yang merupakan kebenaran Allah, sehingga Paulus
berkata “seperti yang disaksikan oleh kitab Taurat dan kitab-kitab para nabi”.
Ayat 25-26
berhubungan dengan “kebenaran Allah” yang Allah kenakan pada manusia. “Tidak
ada yang benar, seorangpun tidak” (3:10). Lalu, bagaimana manusia dibenarkan? Hal ini mungkin jika Allah memberikannya
kepada manusia. Inilah yang disampaikan Paulus dalam ayat 25-26. “Kebenaran
Allah” (TB LAI: keadilan Allah) dikaitkan dengan kata “menunjukkan” (προεθετο,
bentuk aorist medial dari προτιθεμι artinya “menunjukkan di depan umum”). Apa
yang Allah tunjukkan atau yang Allah pamerkan kepada orang banyak? Tidak lain dari pengorbanan
Yesus di kayu salib yang ditawarkan kepada semua orang. Allah menyatakan diri-Nya, tetapi juga menunjukkan
bebenaran-Nya kepada khayalak umum, yaitu bahwa ia membenarkan manusia yang berdosa yang beriman kepada Yesus.
Dengan beriman kepada Yesus, maka manusia dibenarkan oleh Allah. Kebenaran manusia dihadapan Allah
merupakan pemberian yang Allah nyatakan di dalam Yesus. Maka jelaslah bahwa
“kebenaran Allah” dalam ayat 25-26 merupakan genetifus subjektifus.