Saturday, April 14, 2012

Eskatologi Paulus: Harapan Umat Eskatologi dalam Ketegangan

Pendahuluan
Berbagai pendekatan telah dilakukan untuk memahami pengajaran Rasul Paulus. Salah satu pintu untuk masuk dalam pengajarannya adalah dari sisi “eskatologis”. Adalah benar bahwa dalam hampir seluruh bagian surat-surat Paulus, sarat dengan konsep eskatologis. Misalnya Ridderbos, bertitik tolak dari pemahaman eskatologis untuk mengerti karya Kristus, sehingga pemahamannya tentang Kristus selalu dikaitkan dengan eskatologi.[1] Kedatangan Kristus merupakan penggenapan waktu, sebab waktu dunia ini telah berakhir, mulainya kedatangan Allah yang menentukan yang telah lama dinanti-nantikan, waktu atas segala waktu, hari keselamatan yang telah genap untuk dinyatakan. Hal-hal ini semua bersifat eskatologis.[2] Lebih lanjut ia katakan bahwa “seluruh eskatologi Paulus diarahkan oleh telah, dan masih akan, terealisasinya karya Allah di dalam Kristus”.[3]
Kedatangan Kristus juga tidak hanya oleh karena “genapnya waktu” tetapi merupakan permulaan zaman baru oleh intervensi Kristus dalam memulai karya-Nya dan yang percaya baginya adalah berada dalam zaman baru yang ia bawa.  Juga, harus dimengerti bahwa Paulus tidak berhenti pada “penyataan” Allah di dalam Kristus. Paulus mengajarkan bahwa “peristiwa Kristus” (kematian dan kebangkitan-Nya) mencakup aspek “futurim”, bersifat keakanan. Maka, hal ini hanya dapat dimengerti dengan bertolak dari “ketegangan eskatologi”.  Aspek future yang dimaksudkan dapat dirumuskan dalam kata “pengharapan”. Pengharapan akan “pemenuhan” karya Kristus berada dalam ketegangan, yang mana aspek yang sudah masih merupakan suatu penantian.

Ketegangan Eskatologi
Zaman yang penuh penanti-nantian oleh orang Yahudi adalah zaman mesianis, dengan harapan agar kekurangan yang dialami selama zaman ini akan diatasi pada zaman yang baru. Kedatangan Mesias bagi orang Yahudi adalah akhir dari penderitaan yang mereka alami dan hingga kini, hal tersebut masih merupakan penantian. Bagi jemaat Kristen, zaman yang bagi orang Yahudi adalah zaman mesianis telah dimulai dengan kedatangan Kristus.
Dalam pemahaman Paulus, zaman baru yang telah dimulai dengan kedatangan Kristus, yang menghadirkan zaman yang akan datang ke dalam zaman sekarang.  Pemahaman ini diadopsi oleh Paulus dari pandangan rabbinisme. Dalam pengajaran rabbinisme, alam ini (olam hazeh) merupakan antitesisi/perlawanan dari zaman yang akan datang (olam haba), tetapi dalam pemahaman Paulus zaman ini masih ada, dan zaman yang akan datang tetap ada.[4]  Sehingga dalam skema keselamatan zaman ini adalah sudah lewat tetapi masih merupakan realitas juga.[5] Ketegangan antara apa yang sudah dan yang belum sering dirumuskan dengan istilah already but not yet (Jerman: urzeit-enzeit). Dalam Paulus, kita memahami bahwa keselamatan yang telah dianugerahkan adalah suatu penantian yang akan terus diharapkan oleh orang percaya.  “Sebab dengan sangat rindu seluruh makhluk menantikan saat anak-anak Allah dinyatakan” (Rm. 8:19), dan kita diselamatkan dalam pengharapan, sehingga pengharapan demikian bukan lagi pengharapan, sebab apa yang diharapkan saat ini telah ada (Rm. 8:24). Dalam konteks inilah orang percaya hidup, hidup dalam penantian tersebut.
Kehidupan orang percaya dalam zaman yang penuh ketegangan ini disertai dengan sejumlah kesukaran, kesakitan, orang percaya masih akan mengalami kematian.  Sekalipun karya Kristus telah selesai, pengaruh si jahat beserta ‘antek-anteknya’ masih tetap ada. Orang percaya berada dalam zaman akhir tetapi zaman akhir itu belum berakhir, berada dalam zaman yang baru, namun puncak dari zaman baru belum tiba. Menurut Hoekema, “Ketegangan antara yang sudah dan yang belum merupakan ciri dari ‘tanda-tanda zaman’, menyangkut peristiwa-peristiwa sebelum Kristus kembali.”[6]  Jadi, hal-hal di atas merupakan ‘pengantar’ ke dalam zaman penggenapan segala sesuatu. Dua titik yang mengantarai kehidupan Kristen saat ini yaitu salib dan kebangkitan Kristus sebagai permulaan zaman akhir dan titik pusat sejarah (titik awal), dan parousia sebagai titik akhir. Tumpang tindih dua zaman terjadi dalam masa antara tersebut. Zaman yang penuh ketegangan ini dapat digambarkan sbb.: [7]

            Kehadiran zaman kemuliaan yang akan datang
                         dimulai
    Kedatangan pertama      Agōn (pergumulan)       kedatangan kedua
                          Kristus              eskatologi              Kristus                                                             
           
     Kej. 3         masa-masa antara                              disempurnakan
                             Zaman Kejahatan kini


Ketegangan antara “yang sudah” dan “yang belum” itu amat terasa dalam tulisan-tulisan Paulus tentang penyelamatan. Ketika menjadi percaya, seseorang telah diterima Allah (Rm. 5:1), namun ia masih harus diterima secara defenitif (Rm. 3:30). Pembebasan sudah terjadi melalui Kristus (Rm. 3:24, 1Kor. 1:30), tetapi pembebasan seluruh diri kita juga masih sedang dinantikan (Rm. 8:23). Kita sudah menjadi ahli waris (Gal. 4:1-7), namun hal mewarisi kerajaan masih merupakan masa depan juga (1Kor. 15:50). Berada “bersama Kristus” memiliki sisi yang sudah (sudah mati dan dikuburkan bersama Kristus) dan belum (akan bersama Kristus di surga).  Dalam Roma 6, orang yang dibaptis telah mengambil bagian dalam kematian Kristus, tetapi hal mendapat bagian dalam kebangkitan Kristus masih merupakan anugerah masa depan (ay. 3-5,8).

Peranan Roh Kudus
Di zaman yang materialistis ini, sulit untuk melihat aspek dari pekerjaan Roh Kudus, sebab zaman ini penuh dengan penipuan yang sangat sulit untuk menelusuri titik pangkalnya. Dalam karya-karya (buku-buku) teologi Kristen bahkan dalam penyelidikan Alkitab, sedikit sekali yang menaruh perhatian pada oknum ketiga dari Allah Tritunggal ini. Dalam penyelidikan Alkitab, penelitian terhadapnya telah didominasi oleh kritik tinggi dan cenderung untuk mengabaikan aspek yang satu ini. Hal ini berpangkal dari sikap manusia yang terlalu rasionalis dan sulit menerima hal-hal yang bersifat supranatural.
Di sisi lain, berpaling kepada sosok Paulus sebagai teolog pertama Kristen akan mengubah pemahaman yang demikian. Paulus dalam seluruh karyanya tidak mengabaikan oknum ketiga Tritunggal ini. Berkaitan dengan pembahasan dalam bagian ini, peran Roh kudus tidak dapat diabaikan. Dalam keselamatan kita, Roh Kudus berperan sebagai peneguh iman kita. Kehidupan Kristen dalam zaman yang penuh ketegangan ini bukanlah tidak ada pengharapan.  Paulus tidak mengatakan bahwa apa yang diharapkan adalah sesuatu yang tidak pasti. Kepastian pengharapan Kristen ditandai dengan kehadiran Roh Kudus pada saat ini.  Sebab kehadiran Roh Kudus merupakan bukti “kehadiran zaman yang akan datang”.[8]
Janji-janji yang telah diberikan melalui perantaraan nabi Yeremia dan Yehezkiel menghantarkan kepada perjanjian yang baru. Janji akan Roh Kudus lebih jelas dalam Yoel 2: 28-30, sehingga Paulus melihat ini sebagai tibanya zaman mesianis oleh pencurahan Roh Kudus (Kis. 2). Roh Kudus adalah bukti yang pasti, bahwa zaman yang akan datang telah tiba, dan menjadi jaminan terhadap perwujudannya yang sempurna di masa yang akan datang. Kiasan “jaminan” (2Kor. 1:21-22; 5:5; Ef. 1:14) menegaskan kewajiban akan pelunasannya. Kiasan “jaminan” ini lebih jelas dalam Efesus 1:14, “Roh Kudus itu adalah jaminan bagi kita, sampai kita memperoleh seluruhnya, yaitu penebusan yang menjadikan kita milik Allah”. Inilah jaminan yang Allah berikan bagi orang percaya pada masa kini.
Kiasan lain yang digunakan Paulus adalah “buah sulung” (Rm. 8:23; 1Kor. 15:20, 23), dan “kiasan materai” (2Kor. 1:21-22; Ef. 1:13; 4:30). Ketiga kiasan ini menurut Gordon Fee, “menekankan Roh Kudus baik sebagai bukti masa kini mengenai penyataan-penyataan masa yang akan datang atau sebagai jaminan mengenai kemuliaan terakhir”.[9]

Karunia Roh
Ketegangan eskatologis secara khusus sangat terasa dalam hal karunia Roh. Bagi Paulus, pemberian Roh merupakan permulaan proses penyelamatan. Penerimaan Roh telah menjadikan kita anak-anak Allah, dan membuat kita berseru-seru: “ya Abba, ya Bapa” (Rm. 8:15). Teks yang menjadi dasar argumentasi ini adalah Roma 12:3-8; 1 Korintus 12-14; dan Efesus 4:7-16. Karunia-karunia rohani adalah bersifat eskatologis yang secara khusus mengandung dialektika sudah/belum. Karunia-karunia Roh merupakan tanda bahwa zaman akhir telah mulai yang harus dilaksanakan dalam kasih dan bersifat abadi. Sehingga dengan demikian termasuk dalam penyempurnaan zaman yang akan datang.[10]

Umat Eskatologis
Orang percaya dikatakan sebagai umat eskatologis. Sesuai dengan pemahaman bahwa kehadiran Roh Kudus adalah fakta eskatologis, dan gereja sebagai umat Allah yang baru diciptakan oleh Roh Kudus, atau buah dari karya Roh Kudus.[11]  Sebagai umat Kerajaan Allah dan pewaris kerajaan itu, gereja dapat dikatakan sebagai produk dari kuasa masa yang akan datang itu.  Ridderbos menuliskan dua hal tentang makna integral yang Paulus pahami dari gereja: (1) Gereja adalah kelanjutan dan penggenapan umat Allah yang di dalam Abraham telah Allah pilih bagi diri-Nya. (2) Istilah baru yang ia berikan untuk menyebut keberadaan dan karakter gereja, yaitu sebagai tubuh Kristus.[12] Poin pertama menonjolkan sejarah keselamatan dan poin kedua menonjolkan aspek kristologis, yang mana keduanya tidak dapat dipisahkan. 
Kekhususan pengertian Paulus tentang umat Allah (umat eskatologis) tidak disingkapkan oleh pengertian sebagai kontinuitas dengan Israel (sekalipun hal itu benar), tetapi hanya dalam pengertian “kesatuan dengan Kristus”.  Kesatuan dengan Kristus (satu tubuh) tidak boleh dipahami secara metafisis. Kesatuan dengan Kristus harus dipahami dalam pengertian kesatuan iman.[13]  Dengan demikian gereja sebagai “jemaat Allah” dan “tubuh Kristus” adalah tempat di mana Allah dan Roh dalam Kristus hadir.[14]
Istilah yang berkaitan dengan itu yang kerap kali digunakan oleh Paulus untuk mengungkapkan eksistensi orang percaya yaitu “di dalam Kristus”.  Rumusan ini mengandung dua ide dasar: umat percaya dan keselamatan berada di dalam Kristus. Salah satu faktor yang disebutkan Chamblin yang mengendalikan penggunaan istilah ini adalah faktor kristologis. Dalam pandangan Paulus, Kristus adalah pribadi yang “korporat”.  Relasi Kristus dengan orang percaya merupakan kesatuan dari persekutuan, bukan suatu persatuan (union).  Individualitas masing-masing tetap terjaga.[15] Berada “di dalam Kristus” adalah berada di dalam zaman yang baru, dan sebagai umat eskatologis, orang percaya hidup dalam zaman itu.


Pergumulan Umat Eskatologis
Sebagai umat eskatologis, orang percaya menjadi berbagian di dalam kematian dan kebangkitan Kristus oleh iman kepada-Nya. Manusia menjadi sama dengan Kristus dalam kematian dan kebangkitan-Nya (Rm. 6:1-14).  Persatuan dengan Kristus merupakan fase baru dalam kehidupan Kristen untuk memulai pergumulan yang baru. Adalah benar bahwa Kristus telah mematahkan kuasa maut (1Kor. 15:54-57), tetapi orang percaya berada dalam perjuangan yang terus-menerus melawan dosa. Hal ini tidak akan berhenti dalam hidup di dunia ini. Orang percaya (dalam hal ini) dipanggil untuk setia. Suatu perdebatan dalam dua aliran gereja (Calvinisme vs Arminian) yang tidak bisa didamaikan hingga sekarang, menyangkut pergumulan orang percaya dalam hidup di dunia ini. Pengikut Calvin menyatakan bahwa pergumulan orang percaya pada saat ini akan mencapai akhir pada kedatangan Kristus kembali, dengan kata lain tidak ada kesempurnaan dalam hidup di dunia ini. Kebalikannya, bahwa dalam hidup di dunia ini orang percaya dapat mencapai kesempurnaan (Arminian).
Memahami konsep eskatologi Perjanjian Baru (terutama pemahaman Paulus tentang keselamatan) akan membawa pemahaman bahwa pergumulan orang percaya tidak semakin “tipis” tetapi terus meningkat.  Melihat lingkungan sekitar akan menjawab perbedaan ini bahwa kuasa si jahat kian menjadi-jadi. Pergumulan Kristen saat ini, tidak serta-merta disebabkan oleh si jahat, tetapi sebagai aspek lain dari persatuan dengan Kristus, orang percaya terus berjuang melawan dosa dan bahkan hidup orang percaya merupakan medan pertempuran antara Roh Kudus dan dosa.  Peperangan melawan dosa menyaksikan eskatologi “yang sudah” dan “yang belum”.

Indikatif dan Imperatif
Di tengah pergumulan “umat eskatologis” dalam dunia ini, aspek moral adalah bukti hidup dalam eksistensi baru, aeon baru, yang telah dibawa oleh Kristus. Hidup baru adalah mencerminkan iman dan pertobatan. Dua aspek ini tidak dapat dipisahkan artinya bahwa apa yang diimani berkaitan dengan keselamatan yang diterima dari allah menjadi nyata dalam suatu gaya yang baru. Nisbah antara karya Allah (keselamatan) dengan praktiknya dirumuskan dengan istilah “indikatif” dan “imperatif”.  Aspek indikatif dan imperatif ini merupakan realitas antara dua zaman yang saling bersinggungan (yang sudah dan yang belum). Demikianlah pengertian yang diberikan oleh George E. Ladd:
Perkara yang indikatif adalah penegasan terhadap apa yang telah dilaksanakan Allah dalam memperkenalkan zaman yang baru; yang imperatif adalah nasihat untuk mempraktikkan kehidupan yang baru itu di dalam kerangka dunia yang lama. Yang baru itu tidak secara utuh terwujud secara spontan dan bukannya tidak dapat ditolak. Yang baru itu terwujud dalam diakletis dengan yang lama. Karena itu, perkara indikatif yang sederhana sekali pun tidaklah cukup; harus ada yang imperatif, yaitu tanggapan manusia terhadap kehendak Allah.[16]
Di beberapa tempat dalam surat-surat Paulus, aspek indikatif selalu beriringan dengan imperatif. Misalnya dalam Roma 6; Paulus berkata bahwa “kita telah mati bagi dosa” (indikatif) (ay. 11), akan tetapi pada ayat 12, Paulus berkata juga, “hendaknya dosa jangan berkuasa lagi di dalam tubuhmu”.  Atau “telah mengenakan Kristus” (Gal. 3:27) dan ditempat lain ia berkata “kenakanlah Kristus” (Rm. 13:14). Lebih jelas di dalam Roma 12:15-21, dan banyak dalam bagian lain mengungkapkan hal ini.
Menurut Ridderbos, Paulus mendasarkan imperatif pada indikatif, imperatif mengikuti indikatif sebagai kesimpulannya. “Imperatif didasarkan pada realitas yang diberikan oleh indikatif, merujuk kepadanya, dan dimaksudkan untuk membawanya kepada pertumbuhan yang sepenuhnya.”[17] Yang menjadi pokok dalam bagian ini adalah bahwa apa yang telah diberikan oleh Allah, dalam karya-Nya melalui Kristus, dilanjutkan oleh orang yang percaya kepada-Nya di dalam praktek hidup sehari-hari. Dalam pergumulan umat eskatologi akan nyata aspek imperatif. Bagaimana orang percaya menanggapi pergumulan hidup, adalah bersinambung dengan apa yang telah Tuhan nyatakan dalam Yesus Kristus. “Bagi Paulus bukanlah reaksi manusia yang melengkapi karya Allah, melainkan menurut Dia, perbuatan-perbuatan manusia pun digerakkkan oleh dan didasarkan dalam Allah”,[18] demikian dikatakan oleh Hank ten Napel.
Indikatif dalam fungsinya, akan “mati” tanpa imperatif. Hal ini nyata dalam pergumulan Paulus yang ia gambarkan dalam Roma 7 (14-26). Ia mengenal kehendak Allah, ia tahu itu, tetapi ia tidak sanggup melakukannya. Dalam hal ini aspek imperatif bersifat negatif. Aspek imperatif diganti dengan ketidaktahuan akan perbuatan yang ia lakukan. Kehidupan umat beriman dalam praktek hidup baru tidaklah pasif tetapi militan, inilah gambaran hidup orang beriman. Iman yang benar adalah bersifat aktif. Sehingga “relasi aspek aktual dan kontinual dari hidup baru menjadi jelas”.[19] Dengan demikian aspek yang “sudah dan belum” akan nyata dalam hidup orang-orang Kristen pada masa kini. Hidup dalam dunia ini, sebagai dunia yang jahat, tetapi norma hidup, patokan, tujuan dan hasrat orang percaya diarahkan kepada hal-hal yang bersifat kekal yang sekarang telah nyata.

Pengharapan yang Tidak Mungkin Gagal
Harapan eskatologis Paulus berkaitan dengan Kristus dibarengi dengan pengharapan dari aspek “yang belum” sebagai kegenapan “aspek yang sudah”, sebagai penyelesaian karya penyelamatan kaum beriman.  Proses penyelamatan umat manusia telah dimulai dengan salib dan kebangkitan Kristus, dan keikutsertaan orang beriman dengan-Nya dilambangkan dalam baptisan. Pengharapan Kristen pada akhirnya akan diselesaikan oleh Tuhan dan hal ini merupakan kepastian. Ketegangan saat ini adalah ketegangan yang memiliki batas waktu. Dengan demikian pergumulan Kristen akan mencapai akhir.  Kepastian pengharapan Kristen ditandai oleh kebangkitan Kristus sebagai buah sulung.
Kebangkitan Kristus tidak dapat dipisahkan daripada kematian-Nya, demikianlah Ridderbos (45-47) dan Chamblin menyatakan (77), yang mana kedua aspek ini merupakan inti pemberitaan Paulus sebab melalui peristiwa ini tujuan penyelamatan Allah mencapai sasarannya. Ajaran Paulus yang sangat jelas dengan ini adalah dalam 1 Korintus 15:3-4, “Sebab yang sangat penting telah kusampaikan kepadamu, yaitu apa yang telah kuterima sendiri, ialah bahwa Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci, bahwa Ia telah dikuburkan, dan bahwa Ia telah dibangkitkan, pada hari yang ketiga, sesuai dengan Kitab Suci.”
Pemberitaan Paulus dalam hal ini adalah bahwa Kristus telah mati, dikuburkan, dan dibangkitkan. Berita ini adalah sesuai dengan tradisi yang juga diterima oleh Paulus. Berita yang berdasarkan tradisi tersebut adalah mempunyai kesesuaian dengan Kitab Suci sebagai penggenapan janji, kepenuhan waktu yang Allah berikan sebelumnya dinyatakan. Pemberitaan Paulus tentang kebangkitan adalah berdasarkan fakta historis (harafiah). Sehingga tubuh Yesus yang telah bangkit adalah sepenuhnya substansial dan material. Chamblin sangat tepat mengungkapkan ini, “Yesus dibangkitkan dalam tubuh, tubuh yang sepenuhnya substansial dan material. Tubuh yang telah mati dikuburkan, dan tubuh yang telah dikuburkan telah dibangkitkan.”[20] Inilah yang menjadi dasar kekristenan yang diberitakan Paulus yaitu fakta kebangkitan itu dan mendorong Paulus berkata, “Kalau tidak ada kebangkitan orang mati, maka Kristus juga tidak dibangkitkan” (1Kor 15:13). Fakta kebangkitan Yesus juga menyatakan suatu sisi lain pemberitaan Paulus. Kebangkitan bukanlah suatu refleksi teologis Paulus yang mendalam melainkan suatu penyataan ilahi, yang dengan demikian penerobosan aeon baru dalam pengertian yang nyata.[21]
Kebangkitan Kristus adalah juga merupakan “yang sulung” (Rm. 8:29; 1Kor. 15:20; Kol. 1:18). Dalam Roma 8:29, dikatakan bahwa kebangkitan-Nya merupakan “yang sulung di antara banyak saudara”.  Yang sulung harus dipahami sebagai orde kedudukan atau orde dignitas, tetapi bukan hanya itu, Kristus mendahului saudara-saudara-Nya yang lain. Ia “mendahului mereka, membukakan jalan kepada mereka, dan mengaitkan masa depan mereka dengan masa depan-Nya”.[22] Dengan demikian yang beriman dan yang telah dipersatukan dengan Kristus akan menyusul-Nya, akan dibangkitkan (hal ini dibicarakan dalam pokok parousia). Memahami hal ini membuka jalan pada pengertian bahwa pengharapan Kristen adalah suatu fakta. Pengharapan Kristen bukanlah pengharapan dalam angan-angan. Dengan demikian akan dan telah tergenapilah firman yang dinyatakan, “Allah yang membangkitkan Tuhan, akan membangkitkan kita juga oleh kuasa-Nya” (1Kor. 6:14, bnd. 2Kor. 4:14; 1Tes. 4:14).

Refleksi bagi Umat Eskatologis
Syair berikut adalah sebuah lagu Kristen (kontemporer), yang memiliki makna teologis yang dalam, tentang pengakuan iman yang tinggi kepada Yesus Kristus.

Anak Allah Yesus nama-Nya
Menyucikan menguduskan
Bahkan mati tebus dosaku
Kubur kosong membuktikkan Ia hidup
S’bab Dia hidup ada hari esok
S’bab Dia hidup kutak gentar
Karna kutahu Dia pegang hari esok
Hidup jadi berarti s’bab Dia hidup

Memahami makna teologis dari lagu tersebut, memberikan penghiburan “umat eskatologis” atas penderitaan selama masih hidup di dunia ini. Begitu banyak lagu rohani Kristen yang lain, tetapi jarang mengungkapkan kebenaran Kitab Suci dan terlebih pengagungan karya Kristus yang mulia, seperti lagu di atas.
Keyakinan kita adalah bahwa Kristus sekarang hidup dan keyakinan itu harus direfleksikan dalam hidup sehari-hari. Tidak gentar menghadapi hidup, sebab Dialah yang mengendalikan setiap zaman, baik dulu, sekarang, dan besok.  Umat percaya mesti berpengharapan terus dalam iman sebab apa yang diharapkan dan yang diimani sesungguhnya adalah suatu fakta. Tidak ada penundaan terhadapanya. Hendaknya dengan tekun kita menantikan-Nya.



[1] Herman Ridderbos, Paulus: Pemikiran Utama Teologinya, (Surabaya: Momentum, 2008), hlm. 40-41
[2] Ibid., hlm. 36
[3] Ibid., hlm. 43
[4] Tom Jacobs, Paulus: Hidup, Karya dan Teologinya, (Yogyakarta: Kanisius-Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983), hlm. 247
[5] Ibid., hlm. 248
[6] Anthony A. Hoekema, Alkitab dan Akhir Zaman (The Bible and the Future), (Surabaya: Momentum, 2004), hlm. 93-94
[7] Bagan ini adalan saduran dari John Knox Chamblin, Paulus dan Diri: Ajaran Rasuli bagi Keutuhan Pribadi, (Surabaya: Momentum, 2008), hlm. 23
[8]  Gordon D. Fee, Paulus, Roh Kudus dan Umat Allah, (Malang: Gandum Mas, 2004), hlm. 75-90
[9]  Ibid., hlm. 81-83
[10] C. Marvin Pate, The End of the Age Has Come (Eskatologi Paulus), (Malang: Gandum Mas, 2004), hlm. 174-178
[11] George E. Ladd, Teologi Perjanjian Baru, jld. 2, (Bandung: Kalam hidup, 2002), hlm. 332
[12] Ridderbos, Paulus, hlm. 345
[13] Jacobs, Paulus, hlm. 334-336
[14] Jacobs, Paulus, hlm. 337
[15] Chamblin, Paulus dan Diri, hlm. 91
[16] Ladd, Teologi PB, hlm. 308
[17] Ridderbos, Paulus, hlm. 267-268
[18] Hank ten Napel, Jalan yang Lebih Utama Lagi: Etika Perjanjian Baru, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), hlm. 98
[19] Ridderbos, Paulus, hlm. 270
[20] Chamblin, Paulus dan Diri, hlm. 78
[21] Ridderbos, Paulus, hlm. 47
[22] Ridderbos, Paulus, hlm. 48