Pendahuluan
Berbagai
pendekatan telah dilakukan untuk memahami pengajaran Rasul Paulus. Salah satu
pintu untuk masuk dalam pengajarannya adalah dari sisi “eskatologis”. Adalah
benar bahwa dalam hampir seluruh bagian surat-surat Paulus, sarat dengan konsep
eskatologis. Misalnya Ridderbos, bertitik tolak dari pemahaman eskatologis
untuk mengerti karya Kristus, sehingga pemahamannya tentang Kristus selalu
dikaitkan dengan eskatologi.[1]
Kedatangan Kristus merupakan penggenapan waktu, sebab waktu dunia ini telah
berakhir, mulainya kedatangan Allah yang menentukan yang telah lama
dinanti-nantikan, waktu atas segala waktu, hari keselamatan yang telah genap
untuk dinyatakan. Hal-hal ini semua bersifat eskatologis.[2]
Lebih lanjut ia katakan bahwa “seluruh eskatologi Paulus diarahkan oleh telah,
dan masih akan, terealisasinya karya Allah di dalam Kristus”.[3]
Kedatangan Kristus juga tidak hanya oleh karena
“genapnya waktu” tetapi merupakan permulaan zaman baru oleh intervensi Kristus
dalam memulai karya-Nya dan yang percaya baginya adalah berada dalam zaman baru
yang ia bawa. Juga, harus dimengerti
bahwa Paulus tidak berhenti pada “penyataan” Allah di dalam Kristus. Paulus mengajarkan
bahwa “peristiwa Kristus” (kematian dan kebangkitan-Nya) mencakup aspek “futurim”, bersifat keakanan. Maka, hal
ini hanya dapat dimengerti dengan bertolak dari “ketegangan eskatologi”. Aspek future yang dimaksudkan dapat
dirumuskan dalam kata “pengharapan”. Pengharapan akan “pemenuhan” karya Kristus
berada dalam ketegangan, yang mana aspek yang sudah masih merupakan suatu
penantian.
Ketegangan Eskatologi
Zaman yang penuh penanti-nantian oleh orang Yahudi
adalah zaman mesianis, dengan harapan agar kekurangan yang dialami selama zaman
ini akan diatasi pada zaman yang baru. Kedatangan Mesias bagi orang Yahudi
adalah akhir dari penderitaan yang mereka alami dan hingga kini, hal tersebut
masih merupakan penantian. Bagi jemaat Kristen, zaman yang bagi orang Yahudi
adalah zaman mesianis telah dimulai dengan kedatangan Kristus.
Dalam pemahaman Paulus, zaman baru yang telah
dimulai dengan kedatangan Kristus, yang menghadirkan zaman yang akan datang ke
dalam zaman sekarang. Pemahaman ini
diadopsi oleh Paulus dari pandangan rabbinisme. Dalam pengajaran rabbinisme,
alam ini (olam hazeh) merupakan
antitesisi/perlawanan dari zaman yang akan datang (olam haba), tetapi dalam pemahaman Paulus zaman ini masih ada, dan
zaman yang akan datang tetap ada.[4] Sehingga dalam skema keselamatan zaman ini
adalah sudah lewat tetapi masih merupakan realitas juga.[5]
Ketegangan antara apa yang sudah dan yang belum sering dirumuskan dengan
istilah already but not yet (Jerman: urzeit-enzeit). Dalam Paulus, kita memahami bahwa keselamatan yang telah
dianugerahkan adalah suatu penantian yang akan terus diharapkan oleh orang
percaya. “Sebab dengan sangat rindu
seluruh makhluk menantikan saat anak-anak Allah dinyatakan” (Rm. 8:19), dan
kita diselamatkan dalam pengharapan, sehingga pengharapan demikian bukan lagi
pengharapan, sebab apa yang diharapkan saat ini telah ada (Rm. 8:24). Dalam
konteks inilah orang percaya hidup, hidup dalam penantian tersebut.
Kehidupan orang percaya dalam zaman yang penuh
ketegangan ini disertai dengan sejumlah kesukaran, kesakitan, orang percaya
masih akan mengalami kematian. Sekalipun
karya Kristus telah selesai, pengaruh si jahat beserta ‘antek-anteknya’ masih
tetap ada. Orang percaya berada dalam zaman akhir tetapi zaman akhir itu belum
berakhir, berada dalam zaman yang baru, namun puncak dari zaman baru belum
tiba. Menurut Hoekema, “Ketegangan antara yang sudah dan yang belum merupakan
ciri dari ‘tanda-tanda zaman’, menyangkut peristiwa-peristiwa sebelum Kristus
kembali.”[6]
Jadi, hal-hal di atas merupakan
‘pengantar’ ke dalam zaman penggenapan segala sesuatu. Dua titik yang
mengantarai kehidupan Kristen saat ini yaitu salib dan kebangkitan Kristus
sebagai permulaan zaman akhir dan titik pusat sejarah (titik awal), dan parousia sebagai titik akhir. Tumpang
tindih dua zaman terjadi dalam masa antara tersebut. Zaman yang penuh
ketegangan ini dapat digambarkan sbb.: [7]
Kehadiran
zaman kemuliaan yang akan datang



Kedatangan
pertama Agōn (pergumulan) kedatangan kedua
Kristus eskatologi Kristus
Kej. 3 masa-masa antara disempurnakan

Ketegangan antara “yang sudah” dan “yang belum” itu
amat terasa dalam tulisan-tulisan Paulus tentang penyelamatan. Ketika menjadi
percaya, seseorang telah diterima Allah (Rm. 5:1), namun ia masih harus
diterima secara defenitif (Rm. 3:30). Pembebasan sudah terjadi melalui Kristus
(Rm. 3:24, 1Kor. 1:30), tetapi pembebasan seluruh diri kita juga masih sedang
dinantikan (Rm. 8:23). Kita sudah menjadi ahli waris (Gal. 4:1-7), namun hal
mewarisi kerajaan masih merupakan masa depan juga (1Kor. 15:50). Berada
“bersama Kristus” memiliki sisi yang sudah (sudah mati dan dikuburkan bersama
Kristus) dan belum (akan bersama Kristus di surga). Dalam Roma 6, orang yang dibaptis telah
mengambil bagian dalam kematian Kristus, tetapi hal mendapat bagian dalam
kebangkitan Kristus masih merupakan anugerah masa depan (ay. 3-5,8).
Peranan Roh Kudus
Di zaman yang materialistis ini, sulit untuk melihat
aspek dari pekerjaan Roh Kudus, sebab zaman ini penuh dengan penipuan yang
sangat sulit untuk menelusuri titik pangkalnya. Dalam karya-karya (buku-buku)
teologi Kristen bahkan dalam penyelidikan Alkitab, sedikit sekali yang menaruh
perhatian pada oknum ketiga dari Allah Tritunggal ini. Dalam penyelidikan
Alkitab, penelitian terhadapnya telah didominasi oleh kritik tinggi dan cenderung untuk mengabaikan aspek yang satu ini.
Hal ini berpangkal dari sikap manusia yang terlalu rasionalis dan sulit
menerima hal-hal yang bersifat supranatural.
Di sisi lain, berpaling kepada sosok Paulus sebagai
teolog pertama Kristen akan mengubah pemahaman yang demikian.
Paulus dalam seluruh karyanya tidak mengabaikan oknum ketiga Tritunggal ini.
Berkaitan dengan pembahasan dalam bagian ini, peran Roh kudus tidak dapat
diabaikan. Dalam keselamatan kita, Roh Kudus berperan sebagai peneguh iman
kita. Kehidupan Kristen dalam zaman yang penuh ketegangan ini bukanlah tidak
ada pengharapan. Paulus tidak mengatakan
bahwa apa yang diharapkan adalah sesuatu yang tidak pasti. Kepastian
pengharapan Kristen ditandai dengan kehadiran Roh Kudus
pada saat ini. Sebab kehadiran Roh Kudus
merupakan bukti “kehadiran zaman yang akan datang”.[8]
Janji-janji yang telah diberikan melalui perantaraan
nabi Yeremia dan Yehezkiel menghantarkan kepada perjanjian yang baru. Janji
akan Roh Kudus lebih jelas dalam Yoel 2: 28-30, sehingga Paulus melihat ini
sebagai tibanya zaman mesianis oleh pencurahan Roh Kudus (Kis. 2). Roh Kudus
adalah bukti yang pasti, bahwa zaman yang akan datang telah tiba, dan menjadi
jaminan terhadap perwujudannya yang sempurna di masa yang akan datang. Kiasan “jaminan” (2Kor. 1:21-22; 5:5; Ef. 1:14)
menegaskan kewajiban akan pelunasannya. Kiasan “jaminan” ini lebih jelas dalam
Efesus 1:14, “Roh Kudus itu adalah jaminan bagi kita, sampai kita memperoleh
seluruhnya, yaitu penebusan yang menjadikan kita milik Allah”. Inilah jaminan
yang Allah berikan bagi orang percaya pada masa kini.
Kiasan lain yang digunakan Paulus adalah “buah
sulung” (Rm. 8:23; 1Kor. 15:20, 23), dan “kiasan materai” (2Kor. 1:21-22; Ef.
1:13; 4:30). Ketiga kiasan ini menurut Gordon Fee, “menekankan Roh Kudus baik
sebagai bukti masa kini mengenai penyataan-penyataan masa yang akan datang atau
sebagai jaminan mengenai kemuliaan terakhir”.[9]
Karunia Roh
Ketegangan eskatologis secara khusus sangat terasa
dalam hal karunia Roh. Bagi Paulus, pemberian Roh merupakan permulaan proses
penyelamatan. Penerimaan Roh telah menjadikan kita anak-anak Allah, dan membuat
kita berseru-seru: “ya Abba, ya Bapa” (Rm. 8:15). Teks yang menjadi dasar
argumentasi ini adalah Roma 12:3-8; 1 Korintus 12-14; dan Efesus 4:7-16.
Karunia-karunia rohani adalah bersifat eskatologis yang secara khusus
mengandung dialektika sudah/belum. Karunia-karunia Roh merupakan tanda bahwa
zaman akhir telah mulai yang harus dilaksanakan dalam kasih dan bersifat abadi.
Sehingga dengan demikian termasuk dalam penyempurnaan zaman yang akan datang.[10]
Umat Eskatologis
Orang percaya dikatakan sebagai umat eskatologis.
Sesuai dengan pemahaman bahwa kehadiran Roh Kudus adalah fakta eskatologis, dan
gereja sebagai umat Allah yang baru diciptakan oleh Roh Kudus, atau buah dari
karya Roh Kudus.[11] Sebagai umat Kerajaan Allah dan pewaris
kerajaan itu, gereja dapat dikatakan sebagai produk dari kuasa masa yang akan
datang itu. Ridderbos menuliskan dua hal
tentang makna integral yang Paulus pahami dari gereja: (1) Gereja adalah
kelanjutan dan penggenapan umat Allah yang di dalam Abraham telah Allah pilih
bagi diri-Nya. (2) Istilah baru yang ia berikan untuk menyebut keberadaan dan
karakter gereja, yaitu sebagai tubuh Kristus.[12]
Poin pertama menonjolkan sejarah keselamatan dan poin kedua menonjolkan aspek
kristologis, yang mana keduanya tidak dapat dipisahkan.
Kekhususan pengertian Paulus tentang umat Allah
(umat eskatologis) tidak disingkapkan oleh pengertian sebagai kontinuitas
dengan Israel
(sekalipun hal itu benar), tetapi hanya dalam pengertian “kesatuan dengan
Kristus”. Kesatuan dengan Kristus (satu
tubuh) tidak boleh dipahami secara
metafisis. Kesatuan dengan Kristus harus dipahami dalam pengertian kesatuan iman.[13] Dengan
demikian gereja sebagai “jemaat Allah” dan “tubuh Kristus” adalah tempat di
mana Allah dan Roh dalam Kristus hadir.[14]
Istilah yang berkaitan dengan itu yang kerap kali
digunakan oleh Paulus untuk mengungkapkan eksistensi orang percaya yaitu “di
dalam Kristus”. Rumusan ini mengandung
dua ide dasar: umat percaya dan
keselamatan berada di dalam Kristus. Salah satu faktor yang disebutkan
Chamblin yang mengendalikan penggunaan istilah ini adalah faktor kristologis. Dalam pandangan Paulus, Kristus adalah pribadi
yang “korporat”. Relasi Kristus dengan
orang percaya merupakan kesatuan dari persekutuan, bukan suatu persatuan (union).
Individualitas masing-masing tetap terjaga.[15]
Berada “di dalam Kristus” adalah berada di dalam zaman yang baru, dan sebagai
umat eskatologis, orang percaya hidup dalam zaman itu.
Pergumulan Umat Eskatologis
Sebagai umat eskatologis, orang percaya menjadi
berbagian di dalam kematian dan kebangkitan Kristus oleh iman kepada-Nya.
Manusia menjadi sama dengan Kristus dalam kematian dan kebangkitan-Nya (Rm.
6:1-14). Persatuan dengan Kristus
merupakan fase baru dalam kehidupan Kristen untuk memulai pergumulan yang baru.
Adalah benar bahwa Kristus telah mematahkan kuasa maut (1Kor. 15:54-57), tetapi
orang percaya berada dalam perjuangan yang terus-menerus melawan dosa. Hal ini
tidak akan berhenti dalam hidup di dunia ini. Orang percaya (dalam hal ini)
dipanggil untuk setia. Suatu perdebatan dalam dua aliran gereja (Calvinisme vs
Arminian) yang tidak bisa didamaikan hingga sekarang, menyangkut pergumulan
orang percaya dalam hidup di dunia ini. Pengikut Calvin menyatakan bahwa
pergumulan orang percaya pada saat ini akan mencapai akhir pada kedatangan
Kristus kembali, dengan kata lain tidak ada kesempurnaan dalam hidup di dunia
ini. Kebalikannya, bahwa dalam hidup di dunia ini orang percaya dapat mencapai
kesempurnaan (Arminian).
Memahami konsep eskatologi Perjanjian Baru (terutama
pemahaman Paulus tentang keselamatan) akan membawa pemahaman bahwa pergumulan
orang percaya tidak semakin “tipis” tetapi terus meningkat. Melihat lingkungan sekitar akan menjawab
perbedaan ini bahwa kuasa si jahat kian menjadi-jadi. Pergumulan Kristen saat
ini, tidak serta-merta disebabkan oleh si jahat, tetapi sebagai aspek lain dari
persatuan dengan Kristus, orang percaya terus berjuang melawan dosa dan bahkan
hidup orang percaya merupakan medan
pertempuran antara Roh Kudus dan dosa.
Peperangan melawan dosa menyaksikan eskatologi “yang sudah” dan “yang
belum”.
Indikatif dan Imperatif
Di tengah pergumulan “umat eskatologis” dalam dunia
ini, aspek moral adalah bukti hidup dalam eksistensi baru, aeon baru, yang
telah dibawa oleh Kristus. Hidup baru adalah mencerminkan iman dan pertobatan.
Dua aspek ini tidak dapat dipisahkan artinya bahwa apa yang diimani berkaitan
dengan keselamatan yang diterima dari allah menjadi nyata dalam suatu gaya yang baru. Nisbah
antara karya Allah (keselamatan) dengan praktiknya dirumuskan dengan istilah
“indikatif” dan “imperatif”. Aspek
indikatif dan imperatif ini merupakan realitas antara dua zaman yang saling
bersinggungan (yang sudah dan yang belum). Demikianlah pengertian yang
diberikan oleh George E. Ladd:
Perkara yang indikatif adalah penegasan terhadap apa
yang telah dilaksanakan Allah dalam memperkenalkan zaman yang baru; yang
imperatif adalah nasihat untuk mempraktikkan kehidupan yang baru itu di dalam
kerangka dunia yang lama. Yang baru itu tidak secara utuh terwujud secara
spontan dan bukannya tidak dapat ditolak. Yang baru itu terwujud dalam
diakletis dengan yang lama. Karena itu, perkara indikatif yang sederhana sekali
pun tidaklah cukup; harus ada yang imperatif, yaitu tanggapan manusia terhadap
kehendak Allah.[16]
Di beberapa tempat dalam surat-surat Paulus, aspek
indikatif selalu beriringan dengan imperatif. Misalnya dalam Roma 6; Paulus
berkata bahwa “kita telah mati bagi dosa” (indikatif) (ay. 11), akan tetapi
pada ayat 12, Paulus berkata juga, “hendaknya dosa jangan berkuasa lagi di
dalam tubuhmu”. Atau “telah mengenakan
Kristus” (Gal. 3:27) dan ditempat lain ia berkata “kenakanlah Kristus” (Rm.
13:14). Lebih jelas di dalam Roma 12:15-21, dan banyak dalam bagian lain
mengungkapkan hal ini.
Menurut Ridderbos, Paulus mendasarkan imperatif pada
indikatif, imperatif mengikuti indikatif sebagai kesimpulannya. “Imperatif
didasarkan pada realitas yang diberikan oleh indikatif, merujuk kepadanya, dan
dimaksudkan untuk membawanya kepada pertumbuhan yang sepenuhnya.”[17]
Yang menjadi pokok dalam bagian ini adalah bahwa apa yang telah diberikan oleh
Allah, dalam karya-Nya melalui Kristus, dilanjutkan oleh orang yang percaya
kepada-Nya di dalam praktek hidup sehari-hari. Dalam pergumulan umat eskatologi
akan nyata aspek imperatif. Bagaimana orang percaya menanggapi pergumulan
hidup, adalah bersinambung dengan apa yang telah Tuhan nyatakan dalam Yesus
Kristus. “Bagi Paulus bukanlah reaksi manusia yang melengkapi karya Allah,
melainkan menurut Dia, perbuatan-perbuatan manusia pun digerakkkan oleh dan
didasarkan dalam Allah”,[18]
demikian dikatakan oleh Hank ten Napel.
Indikatif dalam fungsinya, akan “mati” tanpa
imperatif. Hal ini nyata dalam pergumulan Paulus yang ia gambarkan dalam Roma 7
(14-26). Ia mengenal kehendak Allah, ia tahu itu, tetapi ia tidak sanggup
melakukannya. Dalam hal ini aspek imperatif bersifat negatif. Aspek imperatif
diganti dengan ketidaktahuan akan perbuatan yang ia lakukan. Kehidupan umat
beriman dalam praktek hidup baru tidaklah pasif tetapi militan, inilah gambaran
hidup orang beriman. Iman yang benar adalah bersifat aktif. Sehingga “relasi
aspek aktual dan kontinual dari hidup baru menjadi jelas”.[19]
Dengan demikian aspek yang “sudah dan belum” akan nyata dalam hidup orang-orang
Kristen pada masa kini. Hidup dalam dunia ini, sebagai dunia yang jahat, tetapi
norma hidup, patokan, tujuan dan hasrat orang percaya diarahkan kepada hal-hal
yang bersifat kekal yang sekarang telah nyata.
Pengharapan yang Tidak Mungkin Gagal
Harapan eskatologis Paulus berkaitan dengan Kristus dibarengi
dengan pengharapan dari aspek “yang belum” sebagai kegenapan “aspek yang
sudah”, sebagai penyelesaian karya penyelamatan kaum beriman. Proses penyelamatan umat manusia telah dimulai
dengan salib dan kebangkitan Kristus, dan keikutsertaan orang beriman
dengan-Nya dilambangkan dalam baptisan. Pengharapan Kristen pada akhirnya akan
diselesaikan oleh Tuhan dan hal ini merupakan kepastian. Ketegangan saat ini
adalah ketegangan yang memiliki batas waktu. Dengan demikian pergumulan Kristen
akan mencapai akhir. Kepastian
pengharapan Kristen ditandai oleh kebangkitan Kristus sebagai buah sulung.
Kebangkitan Kristus tidak dapat dipisahkan daripada
kematian-Nya, demikianlah Ridderbos (45-47) dan Chamblin menyatakan (77), yang
mana kedua aspek ini merupakan inti pemberitaan Paulus sebab melalui peristiwa
ini tujuan penyelamatan Allah mencapai sasarannya. Ajaran Paulus yang sangat
jelas dengan ini adalah dalam 1 Korintus 15:3-4, “Sebab yang sangat penting
telah kusampaikan kepadamu, yaitu apa yang telah kuterima sendiri, ialah bahwa
Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci, bahwa Ia
telah dikuburkan, dan bahwa Ia telah dibangkitkan, pada hari yang ketiga,
sesuai dengan Kitab Suci.”
Pemberitaan Paulus dalam hal ini adalah bahwa
Kristus telah mati, dikuburkan, dan dibangkitkan. Berita ini adalah sesuai
dengan tradisi yang juga diterima oleh Paulus. Berita yang berdasarkan tradisi
tersebut adalah mempunyai kesesuaian dengan Kitab Suci sebagai penggenapan
janji, kepenuhan waktu yang Allah berikan sebelumnya dinyatakan. Pemberitaan
Paulus tentang kebangkitan adalah berdasarkan fakta historis (harafiah). Sehingga tubuh Yesus yang telah bangkit adalah
sepenuhnya substansial dan material.
Chamblin sangat tepat mengungkapkan ini, “Yesus dibangkitkan dalam tubuh, tubuh
yang sepenuhnya substansial dan material. Tubuh yang telah mati dikuburkan, dan
tubuh yang telah dikuburkan telah dibangkitkan.”[20]
Inilah yang menjadi dasar kekristenan yang diberitakan Paulus yaitu fakta
kebangkitan itu dan mendorong Paulus berkata, “Kalau tidak ada kebangkitan
orang mati, maka Kristus juga tidak dibangkitkan” (1Kor 15:13). Fakta
kebangkitan Yesus juga menyatakan suatu sisi lain pemberitaan Paulus. Kebangkitan
bukanlah suatu refleksi teologis Paulus yang mendalam melainkan suatu penyataan
ilahi, yang dengan demikian penerobosan aeon baru dalam pengertian yang nyata.[21]
Kebangkitan Kristus adalah juga merupakan “yang
sulung” (Rm. 8:29; 1Kor. 15:20; Kol. 1:18). Dalam Roma 8:29, dikatakan bahwa
kebangkitan-Nya merupakan “yang sulung di antara banyak saudara”. Yang sulung harus dipahami sebagai orde
kedudukan atau orde dignitas, tetapi bukan hanya itu, Kristus mendahului
saudara-saudara-Nya yang lain. Ia “mendahului mereka, membukakan jalan kepada
mereka, dan mengaitkan masa depan mereka dengan masa depan-Nya”.[22]
Dengan demikian yang beriman dan yang telah dipersatukan dengan Kristus akan
menyusul-Nya, akan dibangkitkan (hal ini dibicarakan dalam pokok parousia).
Memahami hal ini membuka jalan pada pengertian bahwa pengharapan Kristen adalah suatu fakta. Pengharapan Kristen
bukanlah pengharapan dalam angan-angan. Dengan demikian akan dan telah tergenapilah firman yang dinyatakan, “Allah yang
membangkitkan Tuhan, akan membangkitkan kita juga oleh kuasa-Nya” (1Kor. 6:14,
bnd. 2Kor. 4:14; 1Tes. 4:14).
Refleksi bagi Umat Eskatologis
Syair berikut adalah sebuah lagu Kristen
(kontemporer), yang memiliki makna teologis yang dalam, tentang pengakuan iman
yang tinggi kepada Yesus Kristus.
Anak Allah Yesus
nama-Nya
Menyucikan
menguduskan
Bahkan mati
tebus dosaku
Kubur kosong
membuktikkan Ia hidup
S’bab Dia hidup
ada hari esok
S’bab Dia hidup
kutak gentar
Karna kutahu Dia
pegang hari esok
Hidup jadi
berarti s’bab Dia hidup
Memahami makna teologis dari lagu tersebut,
memberikan penghiburan “umat eskatologis” atas penderitaan selama masih hidup
di dunia ini. Begitu banyak lagu rohani Kristen yang lain, tetapi jarang
mengungkapkan kebenaran Kitab Suci dan terlebih pengagungan karya Kristus yang
mulia, seperti lagu di atas.
Keyakinan kita adalah bahwa Kristus sekarang hidup
dan keyakinan itu harus direfleksikan dalam hidup sehari-hari. Tidak gentar
menghadapi hidup, sebab Dialah yang mengendalikan setiap zaman, baik dulu,
sekarang, dan besok. Umat percaya mesti
berpengharapan terus dalam iman sebab apa yang diharapkan dan yang diimani
sesungguhnya adalah suatu fakta. Tidak ada penundaan terhadapanya. Hendaknya dengan
tekun kita menantikan-Nya.
[1] Herman Ridderbos, Paulus: Pemikiran Utama Teologinya, (Surabaya: Momentum,
2008), hlm. 40-41
[2] Ibid., hlm. 36
[4] Tom Jacobs, Paulus: Hidup, Karya dan Teologinya,
(Yogyakarta: Kanisius-Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983), hlm. 247
[5] Ibid., hlm. 248
[6] Anthony A. Hoekema, Alkitab dan Akhir Zaman (The Bible and the
Future), (Surabaya:
Momentum, 2004), hlm. 93-94
[7] Bagan ini adalan
saduran dari John Knox Chamblin, Paulus
dan Diri: Ajaran Rasuli bagi Keutuhan Pribadi, (Surabaya: Momentum, 2008), hlm. 23
[8] Gordon D. Fee, Paulus, Roh Kudus dan Umat Allah, (Malang: Gandum Mas, 2004), hlm. 75-90
[9] Ibid., hlm. 81-83
[10] C. Marvin Pate, The End of the Age Has Come (Eskatologi
Paulus), (Malang:
Gandum Mas, 2004), hlm. 174-178
[13] Jacobs, Paulus, hlm. 334-336
[14] Jacobs, Paulus, hlm. 337
[15] Chamblin, Paulus dan Diri, hlm. 91
[16] Ladd, Teologi PB, hlm. 308
[18] Hank
ten Napel, Jalan yang Lebih Utama Lagi:
Etika Perjanjian Baru, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2006), hlm. 98
[22] Ridderbos, Paulus, hlm. 48