DIRI
YANG TERBAGI (ANTROPOLOGI PAULUS BERDASARKAN 7:14-26)
Pendahuluan
Roma 7:14-26 adalah salah satu bagian Alkitab yang tidak pernah lepas dari perdebatan para ahli di antara sejumlah pokok permasalahan lainnya. Sejumlah interpretasi telah diberikan dan melahirkan karya-karya tentangnya. Banyaknya interpretasi (karya-karya tersebut) bukan oleh suatu persetujuan pendapat, tetapi oleh karena perbedaan pendapat yang tiada henti. Secara umum yang menjadi pergumulan para pendebat tersebut adalah siapakah yang berkata, “Sebab apa yang aku perbuat, aku tidak tahu. Karena bukan apa yang aku kehendaki yang aku perbuat, tetapi apa yang kau benci itulah yang aku perbuat” (Rm. 7:15). Semua penafsir yang berbeda pendapat tersebut setuju bahwa di sini Paulus sedang berbicara kepada jemaat di Roma dan kemungkinan sekali, apa yang digambarkan dan dilukiskan dalam perikop ini merupakan pengalamannya sendiri.
Persesuaian pendapat tersebut, tidak menyelesaikan persoalan yang ada. Masalah baru yang muncul adalah apakah yang digambarkan Paulus dalam bagian ini menyangkut kehidupan sebelum atau sesudah ia percaya yang dipisahkan oleh peristiwa di jalan yang menuju Damsyik, suatu kisah pertobatan Paulus (Kis. 9:1-9)? Memilih untuk mengatakan bahwa ini adalah kehidupan Paulus sebelum percaya, dengan demikian mewakili bangsa Israel atau pada pilihan: ini adalah pergumulan Paulus sebagai orang percaya, dengan demikian merefleksikan pergumulan Kristen pada saat ini.
Persoalan Mendasar
Masalah yang saya ungkapkan pada paragraf di atas dilatarbelakangi oleh suatu persoalan lain yang menjadi dasarnya. Alasan inilah yang dipegang oleh mereka yang mengklaim ayat ini sebagai pergumulan Kristen, yang mana di dalam teks aslinya (bahasa Yunani) setiap kata kerja dalam 14-26 menggunakan bentuk present tense. Bentuk present tense tersebut merupakan peralihan dari past tense dalam 7-13. Berdasarkan bentuk tense ini, para ahli menyimpulkan bahwa pengalaman Paulus sebelum ia menjadi orang percaya dilukiskan dalam 7-13, dan 14-26 melukiskan pengalaman Paulus sebagai orang yang sudah percaya.[1] Secara khusus dalam 14-26 muncul dua pandangan yaitu pandangan bahwa “aku” adalah Paulus sendiri setelah pertobatannya dan atau orang Kristen pada umumnya, dan pandangan bahwa “aku” di sini adalah manusia di luar Kristus dan Roh Kudus.
Salah satu pendekatan yang dilakukan dalam menafsirkan ayat ini adalah penafsiran psikologis yang menyatakan bahwa “aku” itu terbagi, yang bimbang memilih satu di antara dua dunia. Kesan yang timbul adalah Paulus sedang menderita penyakit jiwa, gejala awal sakit saraf atau sudah terjangkit penyakit schizophrenia.[2] Penafsiran lain yaitu penafsiran dualistis antropologis yang dilatarbelakangi oleh filsafat Yunani Kuno, yaitu suatu gagasan yang mengatakan bahwa manusia terbagi atas dua komponen.[3] Kedua pendekatan tersebut tidak memadai. Sehubungan dengan penafsiran dualistis antropologis tidak ditemukan dukungannya dalam konsep Alkitab. Kosep ini bertentangan dengan pandangan Alkitab yang melihat manusia, bukan sebagai susunan yang terdiri dari berbagai bagian yang berbeda, tetapi harus dilihat dalam totalitasnya.[4] Pribadi yang terbagi dalam Roma 7:14-26 ini bukanlah akibat dari dua prinsip yang saling berlawanan di dalam dirinya: menghendaki yang baik (merefleksikan keinginan Roh) dan melakukan yang tidak baik (merefleksikan keinginan tubuh). Penyataan dalam Roma 7:14 menjawab persoalan ini: “Aku bersifat daging, terjual di bawah kuasa dosa”. Jadi, pada hakekatnya “menghendaki yang baik, tetapi melakukan yang jahat” merupakan perwujudan diri manusia yang berada di bawah kuasa dosa yang tidak mampu melakukan kehendak Allah, sekalipun ia mengetahui apa yang seharusnya ia lakukan. Agaknya ini tidak meruntuhkan teologi kerusakkan total manusia (total depravity), sebab frasa “aku mengetahui yang baik” memberikan indikasi kepada salah satu bagian diri manusia yang masih murni, suci. Pemahaman ini justru meneguhkan doktrin tersebut. Kerusakkan total bukan berarti manusia sama sekali tidak mampu melakukan yang baik. “Aku” dalam bagian ini mengetahui yang baik, tetapi tidak mampu melakukan yang baik itu. Hal ini justru semakin memperburuk keadaannya. Lalu, bagaimana kita memahami bentuk present tense dalam perikop ini, khususnya ayat 14-26?
Pengaruh Konteks dan Faham Teologi
Hal yang tidak bisa dihindari dalam penafsiran Alkitab adalah memperhatikan konteks teks berada (baik sebelum maupun sesudah). Roma 7 diapit oleh dua pasal yang berhubungan satu sama lain dan sering ditafsirkan sebagai suatu proses yang berkesinambu-ngan yang dihubungkan dengan pergumulan Kristen. Dalam Roma 6:2-11 dikatakan bahwa orang percaya telah mati bagi dosa melalui kesatuan dengan Kristus. Akan tetapi kemenangan tersebut tidak berakhir di situ. Pergumulan tersebut terus berlanjut, sehingga orang percaya harus terus menyerahkan diri kepada Allah sebagai hamba-Nya dan tidak lagi menjadi hamba dosa. Pergumulan terus berlanjut di mana orang Kristen akan terus dikuduskan melalui pergumulan yang dihadapi setiap hari, sehingga terjadi peperangan antara daging dan Roh (Rm. 7). Kemenangan akan diperoleh melalui bantuan Roh (Rm. 8).
Menurut saya pola ini terlalu dipengaruhi oleh pemahaman teologi sistematik.[5] Dalam soteriologi dikenal istilah “ordo salutis”. Ordo salutis secara singkat dapat dipahami sebagai berikut sehubungan dengan argumentasi dalam bagian ini. Pertobatan membawa kita pada persatuan dengan Kristus oleh iman. Melalui persatuan dengan Kristus kita dibebaskan dari dosa dan penghukuman Allah (Rm. 6). Persatuan ini tidak menghilangkan penderitaan, suatu perjuangan sebagai tindak lanjut persatuan tersebut. Melalui persatuan dengan Kristus kita dikuduskan, tetapi pengudusan tersebut akan terus berlanjut (pengudusan progresif). dalam proses tersebut orang percaya terus berjuang untuk melawan keinginan-keinginan daging sebagai tabiat keberdosaan (Rm. 7). Oleh bantuan Roh orang percaya dapat mengalahkan keinginan-keinginan daging (Rm. 8). Dalam sikap ini tersirat suatu kesalahan yang dilakukan penafsir yaitu membaca suatu teks dengan menyesuaikan wawasan teologi yang diikuti untuk memahami teks tersebut.
Perspektif Pembicara
Dari perspektif pembicara, Paulus tidak hanya berbicara tentang dirinya sendiri. Pengakuan bahwa “hukum Taurat adalah rohani” (ayt. 14) merupakan pengakuan bersama atau suatu hal yang diketahui bersama (kita tahu). Hal ini mengingatkan kita pada peristiwa di Sinai ketika Musa menjadi mediator antara Allah dan umat-Nya Israel (Kel. 19:3-8; 20:18-19). Secara khusus pemberian hukum Taurat sebagai kehendak Allah bagi Israel yang terus-menerus diwartakan oleh para nabi. Dengan melibatkan orang lain dalam pengakuan tersebut telah membuka pemahaman tentang siapa yang dibicarakan.
Semua orang Yahudi telah mengetahui bahwa hukum Taurat adalah rohani, ia berasal dari Allah, sehingga Paulus berani berkata kita tahu (oi;damen). Pengetahuan yang mereka miliki mempunyai dampak yang sangat nyata dalam kehidupan mereka. Dampak itulah yang dijelaskan oleh Paulus pada ayat-ayat berikutnya. Titik tolak penjelasan dampak itu adalah ayat 14, sehingga ayat-ayat berikutnya selalu dimulai dengan kata penghubung ga.r dan de.. Aneh sekali tiba-tiba terjadi pembalikan pada frasa “aku bersifat daging”. Pronomina yang digunakan adalah “aku”, orang pertama tunggal dan terus digunakan sampai akhir perikop ini. Siapakah “aku” yang dimaksud? Apa hubungannya dengan kita (kita tahu). Agaknya merupakan kepastian bahwa “aku” bukan hanya diri Paulus pribadi, sebab manusia yang bersifat daging bukan hanya Paulus, semua umat manusia dan juga orang Yahudi yang memiliki hukum Taurat. “Aku” harus dipahami dalam hubungannya dengan orang-orang yang mempunyai pengakuan yang sama terhadap hukum Taurat.
Menurut Schreiner, Paulus menulis tentang pengalamannya di masa lalu sebagai orang Farisi. Masa lalu itu mencerminkan sejarah Adam dan Israel. Paulus melihat masa lalu itu secara retrospektif yaitu berdasarkan sudut pandang Kristennya sekarang.[6] Juga dikatakan oleh Douglas J. Moo, “Ego is not Israel, but ego is Paul in solidarity with Israel”.[7] Di sini saya menolak pandangan tentang “aku” yang dihubungkan dengan orang percaya yang mengalami belahan sebagai akibat penebusan, seperti pendapat Dunn,[8] sebab aspek-aspek yang dipertentangkan dalam Roma 7 bukan antara Roh dan daging (seperti dalam Gal. 5), antara anugerah dan hukum, tetapi antara εγω manusia, “aku diriku” (ayt. 25) dan daging, antara hukum Allah dan hukum dosa.[9] Lagipula dalam Roma 7:14-26 yang bentuk tensenya adalah present tidak menyebut Roh Kudus sekalipun. Dan jika mengatakan bahwa orang ini adalah orang percaya yang sudah jatuh sampai tingkat paling bawah, maka pertanyaan yang muncul adalah kapan Paulus jatuh pada hingga tingkat paling bawah setelah dia menjadi Kristen? Apakah Paulus tidak mengalami pertumbuhan rohani, dan apakah kehidupan Kristen tidak mengalami pertumbuhan? Orang percaya bisa saja jatuh dalam dosa tetapi tidak mengalami kegagalan yang terus-menerus, jika demikian maka kekristenan kita akan dipertanyakan.
Bentuk Present Tense dalam Roma 7:14-26
Di atas telah diutarakan bahwa bentuk present tense dalam Roma 7:14-26, menurut pendapat beberapa ahli, menggambarkan pergumulan Paulus setelah bertobat yang merupakan gambaran kehidupan Kristen sekarang sebagai perlawanan kehidupan yang lama dalam Roma 7:7-13 dalam bentuk past tense. Berbeda dengan pendapat tersebut, Th. van Den End, mempunyai alasan untuk menolak pendapat tersebut. Van den End menyatakan,
7:7-26 merupakan kisah dramatis, yaitu kisah manusia di luar Kristus. Ayat 7-13 menggambarkan cara dosa, dengan bantuan hukum, menyerang dan berhasil menjajah manusia itu. Lalu ayat 14-20 (dan dengan cara lain juga 21-26) melukiskan keadaan yang dihasilkan oleh penjajahan itu. Peralihan dari kisah mengenai peristiwa penyebab keadaan manusia ke kisah mengenai keadaan itu sendiri menjelaskan peralihan dari bentuk lampau ke bentuk kala kini.[10]
Menurut saya bentuk present tense pada perikop ini harus dipahami sebagai “present historical”.[11] Pengertian dasar dari present historical adalah bahwa peristiwa yang telah terjadi di waktu lampau digambarkan kembali oleh penulis, dan pada saat berbicara atau melukiskan peristiwa lampau itu, penulis menggunakan bentuk present. Ini dibuktikan oleh kata-kata kerja dalam bagian ini, seperti kata oἶda, di mana dalam bahasa Yunani berbentuk perfek tetapi diartikan secara present.
Berdasarkan pemahaman ini, kita perlu melihat ayat 24, sebuah seruan kelepasan terhadap tubuh maut yang diharapkan terjadi pada masa yang akan datang (bentuk future digunakan). Kalimat ini jika dilihat sejenak akan memberikan pengertian bahwa Paulus sedang mengharapkan kelepasan yang tidak terjadi sekarang, tetapi menunjuk pada hari kedatangan Kristus kembali (parousia).[12] Akan tetapi apakah tidak ada kemungkinan lain? Mempertahankan posisi ini akan meruntuhkan argumentasi yang telah dimulai dari awal. Penyelesaian masalah ini harus bertolak dari pemahaman present historical. Dua unsur waktu yang terlibat dalam bentuk present ini adalah waktu lampau dan waktu sekarang. Menurut saya posisi kalimat ini berada pada waktu lampau dalam present historical, artinya Paulus seolah-olah sedang berada pada posisi saat ia masih belum percaya dan bergumul melawan dosa dengan kekuatan dan ketaatan pada hukum Taurat. Pada posisi ini yaitu saat kembali, seolah-oleh pada kehidupan sebelum percaya, kalimat ”aku manusia celaka” dan seruan kelepasan diucapkan, sehingga bentuk future digunakan. Seruan ini adalah suatu seruan yang sangat pesimistis. Kalimat ini sangat tidak sehat jika diserukan dan diucapkan oleh seorang Kristen yang sangat radikal memberitakan injil Kristus. Paulus mengerti panggilannya, mengalami pertobatan yang serius, dan menaruh kehidupannya sepenuhnya pada pemberitaan injil Kristus. Kalimat “aku manusia celaka” mengandung makna ketidakberpengharapan, putus asa, dan bahaya.
Ucapan syukur dalam ayat 25, “Syukur kepada Allah oleh Yesus Kristus Tuhan kita”, tentunya tidak menjadi alasan untuk kembali pada argumentasi awal. Kepastian di sini adalah bahwa kalimat ini diucapkan oleh seorang percaya, yang tidak mungkin diucapkan oleh orang yang belum percaya. Kehadiran ucapan syukur ini menimbulkan satu persoalan, jika kita beranggapan bahwa pergumulan dalam roma 7:14-26 adalah bukan pergumulan orang percaya. Pernyataan Th. van den End harus diperhatikan dengan baik, “Gambaran ini memang manusia di luar Kristus. Tetapi yang melukiskan gambaran itu adalah orang percaya, yang mengenal Kristus. Hanya karena ia mengenal Kristus, ia dapat menggambarkan manusia dengan tajam.”[13] Posisi kalimat ucapan syukur pada ayat 25 berada pada present tense dari present historical.
Argumentasi berikut dari Paulus pada ayat 26 merupakan kesimpulan dari seluruh pembahasan sebelumnya. Kesimpulan ini kembali meneguhkan bahwa yang dibicarakan adalah orang yang belum percaya. Sebab aneh, karena ayat 24-25, jika ini adalah orang percaya, seharusnya bersambung pada 8:1. Akan tetapi penulis kembali pada gambaran yang telah dilukiskan pada ayat-ayat sebelumnya. Kesimpulan ini (26) mematahkan argumentasi bahwa ini adalah orang percaya.
Struktur Roma 7
Unsur penting untuk memahami penjelasan Paulus dari pasal 6 sampai pasal 7 yaitu tentang sifat hukum Taurat. Penjelasannya yang dimulai dengan kalimat pertanyaan penting untuk diperhatikan (lih. 6:1, 15; 7:1, 7, 13). Ayat-ayat tersebut seluruhnya dikaitkan dengan hukum Taurat. Setiap penjelasan dari pertanyaan-pertanyaan tersebut tetap berhubungan dengan hukum Taurat. Dalam Roma 7:1 Paulus berkata bahwa hukum berkuasa atas seseorang selama orang itu hidup. Prinsip yang disampaikan Paulus dalam bagian ini yaitu bahwa kematian membebaskan seseorang dari hukum Taurat. Ayat 2-3 menjelaskan hal tersebut dengan memakai ilustrasi pernikahan. Ayat 4 merupakan penerapan ayat 1 yaitu bahwa kita telah mati bagi hukum Taurat melalui kematian Kristus, dan menjadi milik Dia. Sebagai milik-Nya kita dituntut untuk berbuah bagi Dia. Pada ayat 5-6, Paulus menjelaskan ayat 4 lebih jauh. Ayat 5 berfokus pada peranan hukum Taurat dalam kehidupan kita ketika masih dalam dosa. Kehidupan sebelum mati bagi hukum Taurat dan sebelum menjadi milik Kristus adalah kehidupan dalam daging. Paulus menjelaskan, sebelum kita percaya, hawa nafsu kita dirangsang oleh hokum Taurat supaya kita berbuah bagi maut. Jadi, hukum Taurat telah merangsang kita dan menimbulkan hawa nafsu, sehingga yang dihasilkannya adalah ‘buah bagi maut’.
Ayat 6 merupakan kontras dengan ayat 5. Ayat ini menjelaskan kehidupan setelah menerima Kristus. Keberadan kita ‘sekarang’ adalah hidup yang melayani sebagai keadaan baru. Dia yang mengurung kita tidak berkuasa lagi di dalam kita yaitu hukum Taurat sebagai kehidupan lama kita. Douglas J. Moo mejelaskan hubungan ayat 5 dan ayat 6 sebagai “contrast between the pre-Christian and Christian situation.”[14] Glenn W. Baker menyatakan, “The povital verse for understanding Paul’s presentation are verse 5, which introduces the thema of 7:14-26, and verse 6 which anticipates the argument of chapter eight.”[15] Untuk mengerti penjelasan Paulus dalam bagian ini, Thomas R. Schreiner memberikan struktur sebagai berikut:
A Life under the Law: Unregenerate experience described (7:5)
B Life in the Spirit: Regenerate experience described (7:6)
A' Life under the Law elaborated (7:7-26)
B' Life in the Spirit elaboratet (8:1-17)[16]
Dengan bantuan struktur yang diberikan oleh Schrainer di atas, akan sangat menolong untuk memahami struktur Roma 7. Ayat 7-26 dibagi dalam dua bagian, yaitu ayat 7-13 dan ayat 14-26. Paulus memulai penjelasannya dengan kalimat pertanyaan sebagai ciri argumentasi seperti pada bagian sebelumnya. Hukum Taurat telah merangsang kita untuk berbuat dosa (7:5), dengan demikian apakah hukum Taurat itu dosa? Sekali-kali tidak! Hukum Taurat itu adalah kudus, benar, dan baik (ayt. 12). Dosalah yang telah membuat ini semuanya kacau. Pengetahuan tentang hukum Taurat, memberi kesempatan bagi dosa untuk membangkitkan berbagai keinginan. Maka dosa menjadi hidup dan “aku” mati. Jadi, apakah hukum Taurat yang mulanya adalah kudus, benar, dan baik menjadi kematian bagiku? (ayt. 13). Tidak! Dosalah yang mendatangkan kematian bagi “aku”.
Sekarang kita beralih pada pasal 8. Kata ‘demikianlah sekarang’ dalam ayat 1, “Menyatakan pembebasan manusia yang berada di bawah kuasa dosa dan pemerintahan Taurat, yang tidak berdaya dan tidak dapat menaklukkan daging.”[17] Seluruh pasal 8 mempunyai tema pokok yaitu hidup, dan terutama hidup yang dipimpin oleh Roh. Tema ini menghubungkan pasal 8 dengan 7:6 sebagai penjelasan terhadapnya.
Antara Kehendak dan Perbuatan
Pernyataan Paulus dimulai dengan rumusan pengakuan yaitu ”bahwa hukum Taurat adalah rohani” dan rumusan tersebut menggunakan o[ti. Tentunya mengetahui bahwa hukum Taurat adalah rohani bukan terjadi pada saat Paulus mengatakan itu kembali pada jemaat yang menjadi alamat suratnya. Lagipula kata oi=da dalam bahasa Yunani adalah berbentuk perfek tetapi diartikan secara present, artinya pengetahuan itu diperoleh pada masa lampau, tetapi untuk melukiskannya kembali digunakan bentuk present tense. Sehingga sangat wajar dalam setiap kata kerja menggunakan bentuk present. Yang rohani itu kemudian dipertentangkan dengan “aku yang bersifat daging” dan bukan hanya itu saja tetapi “aku” juga telah terjual dibawah dosa. Bersifat daging menyatakan keadaan manusia sebagai makhluk yang lemah yang telah diperbudak oleh dosa. Dosa telah menjadi tuannya.
Sekarang akibat dari pengetahuan tersebut dibicarakan pada ayat 15 (bdk. 19). “Aku” tidak mengetahui yang dia perbuat. Apa yang diperbuat bukan berdasarkan apa yang dikehendaki tetapi apa yang tidak dikehendaki yaitu yang dibenci. Di sini nyata sekali pertentangan antara realita hidup dengan kehendak. Yang dikehendaki menunjuk pada isi pengakuan, sedangkan yang tidak dikehendaki adalah yang jahat. Dengan melakukan yang tidak dikehendaki, berarti memberikan persetujuan kepada hukum Taurat bahwa ia baik (16). Oleh kerena itu, bukan “aku” yang melakukan yang tidak baik itu (17). Ini merupakan perkataan yang bertentangan dengan perbuatan yang dilakukan oleh pelaku itu sendiri. Hal ini memberi kesan bahwa Paulus tidak bertanggungjawab atas perbuatannya. Pertanggung-jawaban itu ditanggungkan kepada “dosa yang diam di dalam aku”.
Pada ayat 14 dikatakan “aku terjual di bawah dosa”. Dosa telah menjadi tuannya. Lebih jelas lagi di ayat 17 bagaimana “aku” telah diperbudak oleh dosa. Dosa yang berkuasa di dalam dirinya sehingga setiap tindakannya pun berdasarkan kehendak dosa. Akan tetapi manusia tidak dapat berdalih dari dosanya, ia harus bertanggungjawab. Lalu, mengapa Paulus “lempar batu sembunyi tangan”? Schreiner menyatakan, “Paul does not responsibility but confensses impontence.”[18] Ia mengakui ketidakmampuannya di bawah kuasa dosa yang telah menjadi tuannya. Pengakuan ketidakmampuan ini lebih terang pada ayat 18, “di dalam aku tidak tinggal sesuatu yang baik” yang merupakan kontras terhadap pengakuan bahwa hukum Taurat itu baik (12-14, 16).
Sampai di sini kita dapat menyimpulkan bahwa kehendak “aku” berlawanan dengan perbuatannya sendiri. Kehendak yang baik itu tidak sanggup melumpuhkan kuasa dosa yang membelenggunya. Sekalipun mengetahui yang baik, “aku” tidak berhasil melakukannya. Berarti secara tidak langsung kehendak akan yang baik itu pun telah dikuasai oleh dosa sebab tidak ada hasil yang nyata dari kehendak itu. Jadi, tidak ada bagian di dalam diri “aku” yang tidak dikuasai dosa. Seluruh totalitas hidupnya telah ditaklukkan oleh dosa.
Di Bawah Perbudakan Dua Hukum
Berdasarkan uraian tersebut di atas, kita dapat melihat bagaimana keberadaan Paulus sebagai seorang Farisi yang sangat ketat dalam melakukan hukum Taurat. Ia dengan kesetiaan yang tinggi berusaha melayani hukum Taurat dengan status sebagai orang berdosa.
Kesimpulan
Kesimpulan
Surat Roma adalah surat yang sangat berharga bagi orang Kristen saat ini sebab di dalamnya Paulus menguraikan secara panjang lebar pokok-pokok doktrin Kristen yang dituliskannya kepada jemaat di Roma dan juga untuk orang percaya sekarang ini. Secara khusus Roma 7:14-26 adalah satu pokok yang sulit dipahami, yang melaluinya dapat melihat bagaimana umat pilihan Allah di bawah hukum Taurat. Melalui Roma 7:14-26, menunjukkan bahwa hukum Taurat tidak dapat menyelamatkan manusia. Manusia adalah bersifat daging yang berada di bawah kuasa dosa, sedangkan hukum Taurat adalah bersifat rohani. Dua sifat ini tidak dapat bersatu, tetapi keduanya bukanlah kekuatan yang sama kuatnya.
Ketidakcukupan hukum Taurat untuk menyelamatkan manusia telah digenapi oleh Yesus Kristus dan satu di antara dua kekuatan (daging) telah ditaklukkan di bawah kaki Kristus. Berpegang pada hukum Taurat adalah sikap tidak menghargai pengorbanan Yesus Kristus yang telah memberikan kebebesan dari hukum Taurat tersebut. Orang Yahudi harus melihat kepada terang yang baru di dalam Kristus sebab melawan dosa melalui ketaatan pada hukum Taurat adalah jalan yang sia-sia. Kesia-siaan ini ditunjukkan oleh Roma 7:14-26.
Prinsip yang ditemukan dalam pengalaman Paulus tentang kehidupan kerohaniannya yang ia gambarkan dalam Roma 7:14-26, juga ditemukan dalam kehidupan Kristen yang terus-menerus berjuang melawan dosa yang akan dihapuskan secara difinitif pada kedatangan Kristus kembali. Pergumulan seorang Kristen akan dosa tetap ada. Dosa belum hilang dalam kehidupannya. Tetapi sekutu orang percaya, yaitu Roh Kudus yang memimpin peperangan itu bukan hukum Taurat. Dengan demikian, peperangan dalam kehidupan Kristen bukan tidak ada harapan. Roh Kudus pasti membrikan kemenangan dalam pergumulan itu.
Dalam Roma 7:14-26, Paulus secara langsung berbicara tentang orang Yahudi yang memiliki hukum Taurat dan terutama pengalaman kerohaniannya, mempunyai kesadaran akan kehendak Allah melalui pembacaan Taurat. Perdebatan tentang bentuk present tense yang sering diklaim sebagai bukti bahwa Paulus menggambarkan pengalaman Kristennya, hendaknya dipahami sebagai present historikal di mana Paulus melukiskan kembali pengalamannya di masa lampau dalam bentuk present tense. Akan tetapi pada waktu menulis surat ini, ia (Paulus) adalah sebagai orang percaya. Dengan melihat prinsip-prinsip yang sama antara kehidupan orang Yahudi dengan orang percaya akan memperlihatkan perpaduan antara apa yang digambarkan Paulus tentang orang Yahudi dan dirinya sendiri sebagai orang percaya terutama pergumulan untuk melawan dosa. Orang Yahudi (seperti yang digambarkan Paulus) mempunyai perjuangan dengan penuh kegigihan untuk melawan dosa sebab setiap manusia bersifat daging. Malah melalui hukum Taurat mereka mempunyai kesadaran yang sangat dalam tentang dosa. Demikian pula halnya dengan kehidupan Kristen. Orang percaya belum terlepas dari daging yang telah dikuasai oleh dosa dan terus berperang sama seperti orang Yahudi sampai kedatangan Kristus yang akan memberikan kemenangan secara “penuh”.
Dengan segala kerendahan hati, pada bagian ini penulis memberikan saran, kiranya dapat diterima dan berguna bagi orang percaya untuk memahami ajaran Alkitab khususnya ajaran Paulus dalam Roma 7:14-26. Menyelidiki atau (secara umum) mempelajari Alkitab bukanlah tugas satu-satunya yang ditujukan pada seorang teolog atau cendekiawan Kristen dalam bidang penyelidikan Alkitab. Inilah keharusan bagi setiap orang percaya untuk menyelidiki ajaran Alkitab sehingga apa yang disampaikan penulis kepada penerima pertama tidak salah ditanggapi oleh orang percaya saat ini.
Orang percaya harus berhati-hati untuk memahami sesuatu. Sehubungan dengan Roma 7:14-26, “kehati-hatian” sangat diperlukan di sini, sebab tanpa sikap demikian akan salah menanggapi maksud Paulus dalam bagian ini. Orang percaya harus hidup dalam pertumbuhan iman. Dalam perjuangan saat ini, orang percaya bisa jatuh tetapi harus terus bertumbuh dan bukan secara terus-menerus mengalami kegagalan.
Orang percaya diharapkan (bahkan diharuskan) untuk menyadari bahwa Kristus telah mematahkan kuasa dosa dan kuk perhambaan hukum Taurat. Dengan demikan harus mencerminkan hidup yang telah dibebaskan dari dosa bukan mencerminkan hidup dalam dosa. Menghargai pengorbanan Kristus harus dinyatakan dalam hidup sehari-hari dengan hidup seperti yang diinginkan-Nya. Melalui sikap hidup yang benar, orang percaya adalah saksi-saksi Kristus yang hidup.
Daftar Pustaka
Baker, Glenn W., The New Testament Speaks, New York: Harper & Row Publishers, 1969
Chamblin, John Knox, Paulus dan Diri: Ajaran Rasuli bagi Keutuhan Pribadi, Surabaya: Momentum, 2008
Dunn, James D. G., Romans 1-8 (World Biblical Commentary 38A), Dallas: World Books, 1988
Hoekema, Anthony A., Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah (Created in God’s Image), Surabaya: Momentum, 2003
Jacobs, Tom, Paulus: Hidup, Karya, dan Teologinya, Yogyakarta: Kanisius-Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993
Moo, Douglas J., The Epistle to the Romans (NICNT), Grand Rapids: Eerdmans, 1996
Pate, C. Marvin, Eskatologi Paulus (The End of the Age Has Come), Malang: Gandum Mas, 2004
Ridderbos, Herman N., Paulus: Pemikiran Utama Teologinya, Surabaya: Momentum, 2008
Schreiner, Thomas R., Romans (BECNT), Grand Rapids: Bacer Academic, 1998
van den End, Th., Tafsiran Alkitab: Kitab Roma, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008
Wallace, Daniel B., Greek Grammar Beyond and Basics: An Exegetical Syntax of the New Testament, Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1996
[1] Pandangan ini dipegang oleh Jhon Knox Chamblin, Paulus dan Diri: Ajaran Rasuli bagi Keutuhan Pribadi, (Surabaya: Momentum, 2008), hlm. 188-190; James D. G. Dunn, Romans 1-8 (World Biblical Commentary 38A), (Dallas: World Books, 1988), hlm. 424 dst.; Dave Hagelberg, Tafsiran Roma dari Bahasa Yunani, (Bandung: Kalam Hidup, 2004), hlm. 133 dst.
[2] C. Marvin Pate, Eskatologi Paulus (The End of the Age Has Come), (Malang: Gandun Mas, 2004), hlm. 126
[3] Ibid.
[4] Anthony A. Hoekema, Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah (Man: Created In God’s Image), (Surabaya: Momentum, 2003), hlm. 280
[5] Beberapa pemikir teologi sistematika mengutip ayat ini (Rm. 7:14-26) untuk mendukung doktrin pengudusan (secara khusus pengudusan progresif). L. Berkhof, Teologi Sistematika 4: Doktrin Keselamatan, (Surabaya: Momentum, 2006), hlm. 283; Millard J. Erickson, Teologi Kristen, volume 3, (Malang: Gandum Mas, 2004), hlm. 199. Berbeda dengan kedua teolog tersebut, Anthony A. Hoekema, tidak melakukan pembaha-san terhadap Roma 7:14-26 ketika membahas pokok yang sama. Lihat, Diselamatkan oleg Anugerah (Saved by Grace), (Surabaya: Momentum, 2006), hlm. 285
[6] Thomas R. Schreiner, Romans (BECNT), (Grand Rapids: Bacer Academic, 1998), hlm. 357
[7] Douglas J. Moo, The Epistle to the Romans (NICNT), (Grand Rapids: Eerdmans, 1996), hlm. 431
[8] Dunn, Romans 1-8, hlm. 394
[9] Herman Ridderbos, Paulus: Pemikiran Utama Teologinya, (Surabaya: Momentum, 2008), hlm. 126
[11] Daniel B. Wallace, Greek Grammar Beyond and Basics (An Exegetical Syntax of the New Testament), (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1996), hlm. 526-532), menyebutkan Roma 7:14-26 sebagai salah satu teks yang termasuk dalam kategori present ini.
[12] Chamblin, Paulus dan Diri, hlm. 192
[13] van den End, Tafsiran Roma, hlm. 391
[14] Moo, The Epistle of the Romans, p. 418
[15] Glenn W. Baker, The New Testament Speaks, (New York: Harper & Row Publishers, 1969), p. 196
[16] Schreiner, Romans, hlm. 385
[17] Ridderbos, Paulus, hlm. 225
[18] Schreiner, Romans, hlm. 374