Saturday, April 14, 2012

KEBENARAN ALLAH DALAM ROMA 3:21-26

KEBENARAN ALLAH DALAM ROMA 3:21-26

Istilah dikaiosύnh dalam Roma 3:21 merupakan bentuk genetif subjungtif sehingga sangat mungkin diterjemahkan “pembenaran oleh Allah”. Kemungkinan lain untuk menerjemahkan frasa ini adalah “kebenaran Allah” (bukan pembenaran Allah) yang dapat diartikan “kebenaran sebagai sifat Allah sendiri”, demikian dikatakan oleh Tom Jakobs (Paulus: Hidup, Karya, dan Teologinya, Yogyakarta: Kanisius-Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993, hlm. 203).

Dalam surat Roma kata “dikaiosύnh” selalu dikaitkan kepada Allah sebanyak delapan kali (1:17; 3:5, 21, 22, 25, 26; 10:3), dan satu kali dalam 2 Korintus 5:21. Secara khusus dalam 3:21-26 memiliki arti ganda. Pada ayat 21-22 “kebenaran Allah” dapat dilihat sebagai kualitas forensik yang Allah kenakan atas manusia dan yang membebaskannya. Pada ayat 25-26, “kebenaran Allah dilihat sebagai kebenaran yang membenarkan” (Ridderbos, [Paulus: Pemikiran Utama Teologinya, Surabaya: Momentum, 2008], hlm. 169). Tom Jakobs mengabaikan pengertian “kebenaran Allah” sebagai “kebenaran yang berasal dari Allah dan yang diberikan kepada manusia” (Paulus, hlm. 203).


PENYELAM DAN PENAFSIR ALKITAB

PENYELAM DAN PENAFSIR ALKITAB
 

Seorang penafsir Alkitab adalah ibarat seorang penyelam yg tidak selamanya berada di dalam air. Dalam penyelamannya ia menyaksikan panorama yg menakjubkan, lukisan yg sangat artistik tentang berbagai karya Allah dalam kehidupan umat-Nya. Panorama yg ia saksikan mungkin tidak pernah dilihat oleh orang lain atau mereka mengabaikannya, tetapi hal itu terpampang dengan indah dihadapannya. Tetapi tidak selamanya ia berada di bawah sana, ia harus selalu muncul ke permukaan untuk menarik nafas. Penafsir yg keasyikan dalam penyelamannya akan kehabisan oksigen. Pada akhirnya jerih payahnya sia-sia dan tidak berarti apa-apa. 

DIRI YANG TERBAGI (Antropologi Paulus Berdasarkan Roma 7:14-26)

DIRI YANG TERBAGI (ANTROPOLOGI PAULUS BERDASARKAN 7:14-26)
 
Pendahuluan
Roma 7:14-26 adalah salah satu bagian Alkitab yang tidak pernah lepas dari perdebatan para ahli di antara sejumlah pokok permasalahan lainnya. Sejumlah interpretasi telah diberikan dan melahirkan karya-karya tentangnya. Banyaknya interpretasi (karya-karya tersebut) bukan oleh suatu persetujuan pendapat, tetapi oleh karena perbedaan pendapat yang tiada henti. Secara umum yang menjadi pergumulan para pendebat tersebut adalah siapakah yang berkata, “Sebab apa yang aku perbuat, aku tidak tahu. Karena bukan apa yang aku kehendaki yang aku perbuat, tetapi apa yang kau benci itulah yang aku perbuat” (Rm. 7:15). Semua penafsir yang berbeda pendapat tersebut setuju bahwa di sini Paulus sedang berbicara kepada jemaat di Roma dan kemungkinan sekali, apa yang digambarkan dan dilukiskan dalam perikop ini merupakan pengalamannya sendiri.

Eskatologi Paulus: Harapan Umat Eskatologi dalam Ketegangan

Pendahuluan
Berbagai pendekatan telah dilakukan untuk memahami pengajaran Rasul Paulus. Salah satu pintu untuk masuk dalam pengajarannya adalah dari sisi “eskatologis”. Adalah benar bahwa dalam hampir seluruh bagian surat-surat Paulus, sarat dengan konsep eskatologis. Misalnya Ridderbos, bertitik tolak dari pemahaman eskatologis untuk mengerti karya Kristus, sehingga pemahamannya tentang Kristus selalu dikaitkan dengan eskatologi.[1] Kedatangan Kristus merupakan penggenapan waktu, sebab waktu dunia ini telah berakhir, mulainya kedatangan Allah yang menentukan yang telah lama dinanti-nantikan, waktu atas segala waktu, hari keselamatan yang telah genap untuk dinyatakan. Hal-hal ini semua bersifat eskatologis.[2] Lebih lanjut ia katakan bahwa “seluruh eskatologi Paulus diarahkan oleh telah, dan masih akan, terealisasinya karya Allah di dalam Kristus”.[3]