Saturday, July 13, 2013

GEREJA YANG TEGUH DAN YANG MENANG

GEREJA YANG TEGUH DAN YANG MENANG
Belajar dari Kitab Wahyu Bagian (2)


Setiap pengikut dari suatu komunitas tertentu dimana pun ditemukan akan diperhadapkan dengan pilihan-pilihan dan dituntut untuk memberikan sumbangsih terhadap komunitas dimana seseorang menggabungkan diri. Tidak jarang pengikut suatu kelompok tertentu berada dalam dilema oleh karena kesulitan untuk mengambil keputusan atas pilihan-pilihan yang ada. Pilihan-pilihan yang dimaksud adalah berhubungan dengan kejelasan identitas seseorang sebagai pengikut suatu kelompok. Kesulitan lebih besar dialami oleh mereka yang tidak mau menggabungkan diri dengan suatu kelompok dan biasanya dialami oleh kelompok kecil (minoritas) dalam suatu lingkungan kemasyarakatan. Tidak jarang juga ditemukan bahwa pengikut suatu kelompok “hidup munafik” dalam kelompoknya. Dimana pada dasarnya seseorang itu tidak bersungguh-sungguh menjadi pengikut kelompok tertentu tetapi juga tidak mau menjadi kelompok oposisi dari suatu kelompok yang lebih besar. Mencari “rasa mana” adalah pilihan tepat bagi kepribadian semacam ini.

Fakta demikian kita temukan dalam kehidupan gereja mula-mula. Orang Kristen pada masa awal dengan jelas membedakan diri dari orang non-Kristen. Berada di kelompok yang terpisah, tersendiri, dan menjadi kelompok yang dianggap memberontak. Pendirian ini memiliki konsekuensi dalam kehidupan sehari-hari dengan tingkat yang berbeda-beda. Salah satu sumber yang mengungkapkan keadaan demikian adalah Kitab Wahyu. Kitab Wahyu memberikan informasi tentang konsekuensi yang dihadapi orang Kristen atas iman mereka kepada Yesus Kristus. Dalam ulasan singkat ini akan dijabarkan tentang sukacita yang disampaikan Kitab Wahyu kepada Gereja Tuhan dalam dunia ini.


A. Latar Belakang Kontemporer Kitab Wahyu

Kitab Wahyu ditulis di Asia Kecil menjelang akhir abad pertama sekitar tahun 95-96 M., ketika itu Asia Kecil (negara Turki sekarang) berada di bawah kekuasaan Romawi. Gereja yang ada dalam wilayah ini berada dalam konflik dengan dua kubu yaitu kubu Yahudi dan lingkungan kehidupan Yunani-Romawi. Jadi, Sitz im Leben jemaat di mana kitab ini ditujukan, dipengaruhi oleh hubungan-hubungan mereka dengan kedua kelompk tersebut.[1]

Friday, July 6, 2012

KITAB WAHYU: GAMBARAN GEREJA KRISTUS SEPANJANG ZAMAN

KITAB WAHYU: GAMBARAN GEREJA KRISTUS SEPANJANG ZAMAN

Belajar dari Kitab Wahyu Bagian (1)



Pendahuluan

Sangat mudah untuk menjawab pertanyaan seperti ini: Kitab apa yang paling terakhir dalam PB? atau, kitab apa yang disebut kitab nubuat dalam PB? Tidak lain jawabannya adalah “Kitab Wahyu”. Namun ada satu pertanyaan yang membutuhkan keseriusan dan pemikiran lebih dari pertanyaan di atas adalah: “Kitab apa yang paling tidak disukai?” Dalam Alkitab ada dua kitab yang (menurut saya) sangat membosankan adalah Kitab Tawarikh dalam Perjanjian Lama dan Kitab Wahyu dalam Perjanjian Baru.
Suatu kali dalam pelajaran “Pengantar PL-PB” ketika saya mengajar di SMTK SETIA Seriti, pertanyaan tersebut di atas saya lemparkan kepada siswa/i tentang kitab apa yang paling tidak disukai?[1] Di tiga kelas, pertanyaan ini selalu saya ajukan sebagai bahan siskusi singkat di awal pelajaran. Di tiga kelas tersebut (40-an siswa/i), hanya satu orang siswa yang menyatakan senang terhadap Kitab Wahyu. Alasan yang dilontarkan siswa tersebut adalah oleh karena kisahnya seperti “film horror”.[2] Sesungguhnya jawaban ini menarik. Alasan yang lain menyatakan tidak suka karena banyak binatang-binatang yang menyeramkan. Hal yang sama pasti kita temukan, ketika pertanyaan tersebut kita ajukan kepada jemaat. Kitab Wahyu sulit untuk dipahami. Pendeta-pendeta atau pengkhotbah-pengkhotbah juga jarang mendengungkan kitab ini di atas mimbar gereja. Pada faktanya orang Kristen “menjauhi” (menghindari) Kitab Wahyu dengan alasan masing-masing. “Seseram itukah Kitab Wahyu?”


Saturday, April 14, 2012

KEBENARAN ALLAH DALAM ROMA 3:21-26

KEBENARAN ALLAH DALAM ROMA 3:21-26

Istilah dikaiosύnh dalam Roma 3:21 merupakan bentuk genetif subjungtif sehingga sangat mungkin diterjemahkan “pembenaran oleh Allah”. Kemungkinan lain untuk menerjemahkan frasa ini adalah “kebenaran Allah” (bukan pembenaran Allah) yang dapat diartikan “kebenaran sebagai sifat Allah sendiri”, demikian dikatakan oleh Tom Jakobs (Paulus: Hidup, Karya, dan Teologinya, Yogyakarta: Kanisius-Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993, hlm. 203).

Dalam surat Roma kata “dikaiosύnh” selalu dikaitkan kepada Allah sebanyak delapan kali (1:17; 3:5, 21, 22, 25, 26; 10:3), dan satu kali dalam 2 Korintus 5:21. Secara khusus dalam 3:21-26 memiliki arti ganda. Pada ayat 21-22 “kebenaran Allah” dapat dilihat sebagai kualitas forensik yang Allah kenakan atas manusia dan yang membebaskannya. Pada ayat 25-26, “kebenaran Allah dilihat sebagai kebenaran yang membenarkan” (Ridderbos, [Paulus: Pemikiran Utama Teologinya, Surabaya: Momentum, 2008], hlm. 169). Tom Jakobs mengabaikan pengertian “kebenaran Allah” sebagai “kebenaran yang berasal dari Allah dan yang diberikan kepada manusia” (Paulus, hlm. 203).


PENYELAM DAN PENAFSIR ALKITAB

PENYELAM DAN PENAFSIR ALKITAB
 

Seorang penafsir Alkitab adalah ibarat seorang penyelam yg tidak selamanya berada di dalam air. Dalam penyelamannya ia menyaksikan panorama yg menakjubkan, lukisan yg sangat artistik tentang berbagai karya Allah dalam kehidupan umat-Nya. Panorama yg ia saksikan mungkin tidak pernah dilihat oleh orang lain atau mereka mengabaikannya, tetapi hal itu terpampang dengan indah dihadapannya. Tetapi tidak selamanya ia berada di bawah sana, ia harus selalu muncul ke permukaan untuk menarik nafas. Penafsir yg keasyikan dalam penyelamannya akan kehabisan oksigen. Pada akhirnya jerih payahnya sia-sia dan tidak berarti apa-apa. 

DIRI YANG TERBAGI (Antropologi Paulus Berdasarkan Roma 7:14-26)

DIRI YANG TERBAGI (ANTROPOLOGI PAULUS BERDASARKAN 7:14-26)
 
Pendahuluan
Roma 7:14-26 adalah salah satu bagian Alkitab yang tidak pernah lepas dari perdebatan para ahli di antara sejumlah pokok permasalahan lainnya. Sejumlah interpretasi telah diberikan dan melahirkan karya-karya tentangnya. Banyaknya interpretasi (karya-karya tersebut) bukan oleh suatu persetujuan pendapat, tetapi oleh karena perbedaan pendapat yang tiada henti. Secara umum yang menjadi pergumulan para pendebat tersebut adalah siapakah yang berkata, “Sebab apa yang aku perbuat, aku tidak tahu. Karena bukan apa yang aku kehendaki yang aku perbuat, tetapi apa yang kau benci itulah yang aku perbuat” (Rm. 7:15). Semua penafsir yang berbeda pendapat tersebut setuju bahwa di sini Paulus sedang berbicara kepada jemaat di Roma dan kemungkinan sekali, apa yang digambarkan dan dilukiskan dalam perikop ini merupakan pengalamannya sendiri.